Antara hati yang bersih dan kecerdasan bukanlah harus
disatukan. Karena mereka telah bersatu dalam kesatuan. Tinggal bagaimana
memandangnya saja.
Pertama, jika hati bersih nasehat baik pun lebih mudah
merasuk. Nasehat dalam arti wejangan maupun ilmu-ilm lainnya. Logikanya begini.
Ada secarik kertas putih bersih belum ternoda oleh goresan apapun. Ketika ia
mulai di buat untuk menulis atau melukis. Maka tulisan maupun lukisan tadi
terlihat jelas dan indah. Karena memang kertas tadi sebelumnya bersih.
Nah kedua, coba imajinasikan dengan kertas yang sudah penuh
coretan. Kita coba untuk menulis atau melukis. Apa yang dapat dilihat? Pasti tambah
parah coretan itu bukan? Usaha lebih keras lagi pun percuma dan sia sia. Karena
kotor seharusnya diganti yang baru atau dihapus coretan tadi.
Dapat disimpulkan bahwahati yangg masih benih lebih mudah
menerima. Sekarang coba kita flahback masa lalu. Ketika kita kecil. Tentu kita
lebih mudah menghafal bukan. Atau jika anda lupa masa kecil anda, lihatlah anak
kecil disekitar anda. Tentu ia lebih mudah menghafal. Karena ia belum banyak maksiat
atau dosa-dosa lainnya. Banyak hafidz Qur’an pun ia dari anak-anak dan memang
orang yang bersih hatinya sejak kecil.
Kita lihat diri kita atau sekitar kita yang banyak melakukan
dosa. Tentu ia akan susah menghafal. Karena hati itu seperti kertas putih tadi.
Jika ia telah penuh dengan dosa-dosa (coret-coretan) maka ditulis atau dilukis
apapun percuma. Karena yang seharusnya adalah menghapus dahul dosa-dosa. Itupun
belum tentu bersih dan tidak mungkin seindah dahulu kala.
Semoga apa yang kita debatkan dapat bermanfaat. Karena imam
Syafi’i ketika berdebat tentang apapun dan siapapun bahkan gurunya sendiri. Beliau
selalu berdoa agar selalu dapat Rahmat dan Hidayah kebenaran dari Allah. Terlepas
dari siapapun yang menang dalam debat itu.
Ketika menilai sesuatu Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib
membuang semua yang ada dipikirannya. Karena ia menilai itu murni dari hati. Netral
dari pemikiran-pemikiran sebelumnya.
0 komentar:
Post a Comment