SI MBAH SAHABATKU
Suasana bulan
Ramadhan yang selalu kurindukan kehadirannya. Bagaimana tidak? Aku sangat
bahagia menyambut datangnya tamu bulan yang penuh kesucian. Bulan dimana
dilipatgandakan segala amalan kebajikan. Termasuk keburukan pula dilipatkan dosanya.
Senang-senang agak nngeri sih...
Di bulan yang
meriah ini aku menyukai suasana tadarus yang meriah, tarawih yang mekar
merekah, sahur, berbuka bersama dan segala kegiatan menjadi indah di bulan ini.
sesuatu yang sering dilakukan di bulan lain berbeda nuansanya bila dikerjakan
di bulan ini. terasa lebih istimewa.
Aku teringat
satu hal yang membuatku menitikkan air mata. Kejadian itu terlukis indah dalam
kanvas hidupku.
“Mbah mbah... mbah Ni,” aku memanggilnya
berkali-kali. Nenek bernama Siti Nuraini itu sedang khusyu’ menyimak lantunan ayat suci Al Qur’an yang disenandungkan
oleh cucunya menggunakan pengeras suara. Begitu pula denganku. Ini yang sering
kami lakukan di malam-malam setelah shalat tarawih, tadarusan.
“Sopo seng nyeluk aku?” sahut yang nenek
sembari memakai kacamatanya. Beliau melihat barisan anak muda yang bersila menghadap kiblat dengan kitab suci
di tangannya. Ya. Beliau adalah satu-satunya perempuan yang masih eksis sampai
jam sepuluh malam begini.
“Kulo mbah, “Ibad. Njenengan mpun dijemput kaleh Fitri, putune njenengan.” Kudekatkan dengan telinga beliau.
“Mana? Cucu
saya ndak ada kok?” sahutnya dengan bahasa jawa. Sambil memandangi satu-satu
diantara kami.
“Dia di luar
masjid mbah.”
“Bilangin ke
cucuku bahwa mau baca setengah juz dulu baru pulang” sambil melepas kacamatanya
beliau membaca.
“Injeh mbah” sahutku.
Suara merdu mbah Aini berdentam melalui pengeras
suara. Suara yang bercirikan orang yang sudah lanjut usia. Namun alunan nadanya
masih sangat nyaman di dengar. Bahkan mampu membuat bulu romaku merinding.
Terkadang malah hingga membuatku menangis tersedu-sedu. Dari sekian banyak yang
tadarus di mushala kecil ini, hanya mbah Aini yang paling tua diantara kami.
Bahkan biasanya aku dan mbah Aini
adalah pembaca terakhir. Hingga bila cucunya tak menjemput maka aku yang sering
mengantarnya hingga depan rumah. Tentunya dengan sepeda zaman veteran dulu ”sepeda unto”.
Banyak hal
yang bisa aku gamit pelajaran dari si mbah. Mulai kegigihannya menyemangati
anak muda. Antusiasnya yang tak pernah padam bila untuk kebaikan, walaupun
kadang jasmaninya tak mendukung. Nasehatnya yang sangat menentramkan gundah
gulana. Walaupun setiap kata-katanya terdengar cedal. Karena banyak gigi beliau
yang telah pensiun sejak lama. Tapi ketika melantunkan ayat suci Al-Qur’an
hampir tak pernah aku mendengarkan kecedalannya. Dan bahkan yang membuatku
merinding tujuh keliling adalah penglihatannya. Bagaimana dengan
penglihatannya? Beliau harus menggunakan kacamata untuk melihat jalan,
seseorang atau apapun itu selain Al-Qur’an. Hah? Jika tanpa kacamata menurut
beliau dunia ini remang-remang seperti mendung hitam di kala hujan akan datang.
Termasuk memakai kacamata untuk melihat tulisan Al-Qur’an menjadi buram tak
kelihatan. Nah, spesial untuk membaca ayat suci itu si mbah harus melepas
kacamatanya. Itu malah membuat si mbah dapat melihat dengan jelas. Kok bisa
gitu ya?
Asumsi saya
hanya sederhana saja. Kitab Al-Qur’an ini selain Firman Allah juga sebagai obat
dari segala obat. Nasehat dari segala nasehat. Si mbah diberi kelancaran
melantunkan Al-Qur’an walaupun beliau jika berbicara biasanya adalah cedal. Si
mbah diberi kejelasan ketika melihat tulisan Arab walaupun ketika melihat
sesuatu lain harus dengan kacamatanya. Ini aneh tapi nyata kawan. Ini true
story. Dimana beliau saat ini semoga tenang dan terang serta lapang di
kuburnya. Setahun yang lalu beliau meninggalkanku sahabatnya ketika bertadarus.
Karena tak jarang pula aku sengaja datang ke rumah beliau mengajak berbuka
bersama, bercanda tawa, bercerita dan mengajarkan banyak shalawat kepadaku. Beliau
kala itu seorang janda yang ditinggal suaminya setahun yang lalu jua. Sedangkan
anak satu-satunya merantau entah kemana.
Semoga amal
ibadah si mbah sahabatku diterima dan menjadikan amal kebajikan yang berat di yaumul mizan kelak. Aamiin...
Aku jadi terisak
akan kepergiaan nenek dari ibuku. Beliau pergi sekitar seminggu yang lalu.
Semoga amal ibadah beliau di terima di sisi-Nya. Aamiin... dan semoga
dilapangkan dan terang alam kuburnya. Aamiinn...
0 komentar:
Post a Comment