Hujan Di Bawah
Purnama
“Bolehkah aku
datang ke rumah orang tuamu nanti malam, Salwa?”
“Maaf orang
tua Salwa sedang tak di rumah, Kak Ridwan.”
“Ya sudah. Kabari
Kak Ridwan kalau Abi mu telah pulang ya? Kakak akan ke rumah bersama
sekeluarga.”
“Iya, Kak.”
Di pesisir
senja yang mengakhiri percakapan antara aku dan Salwa. Gadis yang berniat aku
halalkan namanya dalam hatiku. Selama ini aku memantaskan diri untuknya. Kini tiba
saatnya bersanding dengan putri seorang ustadz.
Dua hari
berlalu dalam deru penantian yang terasa panjang. Melelahkan. Namun berharap
menemukan kembali binar cahaya terang. Seperti temaram rembulan malam ini.
“Salwa? Kapan orang
tuamu pulang?”
“Sudah dari
kemarin, Kak?”
“Kenapa kau
tak kabari Kakak?”
“Maaf Kak?”
“Besok malam
Kak Ridwan sekeluarga akan ke rumah orang tuamu.”
“Sebelumnya
maaf Kak Ridwan. Tepatnya malam kemarin aku telah di khitbah oleh seorang yang lebih dulu bertanya dibanding Kakak. Namun
aku tak enak berkata langsung saat itu. Ketika Kak Ridwan menanyakan orang tua
Salwa. Tepat sepuluh menit sebelum pesan Kakak masuk, seorang ikhwan bernama
Zakki lebih dulu bertanya. Maaf Kak? Salwa harap Kak Ridwan paham. Mungkin ini terakhir
kalinya kita berkomunikasi. Karena nomor ini segera nonaktif, Kak. Sekali lagi
maafkan Salwa. Semoga Kakak mendapatkan permaisuri lebih shalehah dari pada
aku.”
Tak terasa
bulir-bulir air mata ku berderai hangat di pipi. Basah membanjiri ruang hati. Malam
yang sebelumnya terang oleh pendar purnama. Seketika menjelma gulita yang
kelam. Awan hitam berbaris rapi. Bersama derai air mata hujan pun turun dengan
derasnya. Sedih piluh bukan karena kehilangan dia untuk selama-lamanya. Namun sedih
karena ketidakjujurannya sejak awal. Lebih baik tersakiti karena kebenaran,
daripada tersakiti oleh kebohongan.
0 komentar:
Post a Comment