Ketika Miqdad Datang
Episode 5 (Linang
Senja Itu)
Deru mobil
meraung. Gesit secepat kilat. Falah fokus pada gagang setirnya. Sedikit pun tak
menolehkan pandangannya walau sejenak. Sedangkan aku hanya terdiam memandangi
rambutnya yang terurai. Tiga menit berlalu. Sampai pada rumah makan minimalis.
Rumah makan yang paling terkenal cita rasanya di desa ini.
Falah
membukakan pintu. Dia menjulurkan tangannya. Aku hanya terdiam dan mencoba
beranjak keluar. Saat aku menutup pintu mobil tiba-tiba dengan cepat dia meraih
tanganku.
“Waktu kita
tak banyak! Jangan kau ulur-ulur!” dia benar-benar menggandeng tanganku. Aku
pun harus mengikuti langkah cepatnya.
Bahkan aku tak
bisa melepaskan gandengan itu. Keadaan seperti membuatku malu. Terlebih di
depan umum.
Akhirnya
tangan itu terlepas. Aku duduk di sebuah kursi saling berhadapan dengannya. Di
atas meja telah terhidang beberapa makanan. Apakah aku dan Falah salah tempat
duduk? Mungkin ini pesanan orang lain.
“Aku tahu kok
kalau kau suka dengan pecel yang pedas dan tak suka dengan yang berbau es atau
jus” sungging senyumnya tetap manis seperti pertama kali kulihat senyumya.
Walau aku merasakan ada sesuatu tak beres dengan sikapnya. Kadang malu dan sedikit
lebih kasar. Entahlah, mungkin dia terlalu disiplin. Dulunya bisa jadi anak
Paskibra.
“Bolehkah aku
meminta alamat rumahmu?” pertanyaan itu membuatnya menaikkan alisnya.
“Alamat asli
atau yang di sini?” jawabnya sambil mengunyah sebongkah lontong.
“Jadi, kau
bukan orang asli daerah ini?” tanyaku keheranan.
“Bukan”
Aku menganggukkan
kepala. Namun dalam sejuta tanda tanya yang besar. Bagaimana bisa? Orang tuanya
adalah seorang kepala desa di sini. Dia tinggal dimana? Bintik penasaran itu
mulai menggelembung.
“Maukah kau
menjadi kekasihku? Aku sangat mencintaimu, Miqdad?” tatapan matanya menusuk
tajam retinaku. Sedikit pun tak bergeming. Kulihat sepasang matanya bening
teduh cemerlang. Seperti fajar menyibak kabut jalang yang melintang. Aku tak
kuasa bila dipandangi seseorang. Terlebih seorang wanita. Itu membuat badanku
bergemetaran dalam dentam yang tak karuan.
Aku harus
menjawabnya tegas. Bahwa aku sudah tak mau lagi menjalin hubungan seperti itu
lagi. Kalau pun dia menawarkan untuk menikahinya. Maka segera aku pikirkan
matang-matang. Namun bila pacaran tak ada yang perlu dipikirkan. Karena jawabanku
adalah tidak.
“Maaf, jika
menjadi kekasihmu aku tak bisa” jawaban ini sering terucap dari sepasang
bibirku.
Tiba-tiba
Falah beranjak pergi tanpa sepatah kata pun. Pergi begitu cepat hilang dari
pandanganku. Aku tahu bahwa ia sedang menyembunyikan air matanya. Sangat paham
dengan kekecewaannya padaku. Karena dia bukan satu-satunya wanita yang menginginkan
aku menjadi kekasihnya. Melainkan sudah ada yang lebih dulu mendahuluinya. Dengan
nasib yang sama seperti dirinya saat ini. Kadang aku sendiri sedih dan tak tega
bila melihat seorang wanita menangis. Namun apalah daya. Demi kebaikanku dan
kebaikannya. Semoga saja ia akan paham maksudku.
Aku tinggalkan
uang di meja berbentuk persegi ini. Hendak pergi ke masjid terdekat dari sini. Kulihat
di meja itu ada selarik kalimat “Kau akan menyesal!”. Apa maksudnya? Dia mengancamku
karena penolakan tadi? Entahlah. Aku harus segera ke masjid supaya tak
terlambat untuk berjama’ah.
“Maaf, pak?
makanan di meja ini telah dibayar. Jadi, uang bapak silahkan dibawa kembali”
salah satu pelayan pria mengingatkanku.
“Ohh, iya
terima kasih” jawabku sambil beringsut menuju tungganganku yang di parkir oleh
anak buah Falah tadi.
Sejurus kemudian
beranjak pergi menuju masjid yang terdengar dengan kumandang adzan merdu itu. Angin
senja menjelang malam itu bertabur warna kemerah-merahan di ufuk barat.
***
0 komentar:
Post a Comment