Gerakan Menuju Pos Cita-cita "Cerpen, Puisi, Traveller, Motivasi dan Gaya Hidup menjadi tautan asa dalam sebuah Selasar Nektar Kata"

Semesta

Tuesday, May 17, 2016

Serial: Ketika Miqdad Datang (Episode 5 "Linang Senja Itu")


Ketika Miqdad Datang

Episode 5 (Linang Senja Itu)
Deru mobil meraung. Gesit secepat kilat. Falah fokus pada gagang setirnya. Sedikit pun tak menolehkan pandangannya walau sejenak. Sedangkan aku hanya terdiam memandangi rambutnya yang terurai. Tiga menit berlalu. Sampai pada rumah makan minimalis. Rumah makan yang paling terkenal cita rasanya di desa ini.
Falah membukakan pintu. Dia menjulurkan tangannya. Aku hanya terdiam dan mencoba beranjak keluar. Saat aku menutup pintu mobil tiba-tiba dengan cepat dia meraih tanganku.
“Waktu kita tak banyak! Jangan kau ulur-ulur!” dia benar-benar menggandeng tanganku. Aku pun harus mengikuti langkah cepatnya.
Bahkan aku tak bisa melepaskan gandengan itu. Keadaan seperti membuatku malu. Terlebih di depan umum.
Akhirnya tangan itu terlepas. Aku duduk di sebuah kursi saling berhadapan dengannya. Di atas meja telah terhidang beberapa makanan. Apakah aku dan Falah salah tempat duduk? Mungkin ini pesanan orang lain.
“Aku tahu kok kalau kau suka dengan pecel yang pedas dan tak suka dengan yang berbau es atau jus” sungging senyumnya tetap manis seperti pertama kali kulihat senyumya. Walau aku merasakan ada sesuatu tak beres dengan sikapnya. Kadang malu dan sedikit lebih kasar. Entahlah, mungkin dia terlalu disiplin. Dulunya bisa jadi anak Paskibra.
“Bolehkah aku meminta alamat rumahmu?” pertanyaan itu membuatnya menaikkan alisnya.
“Alamat asli atau yang di sini?” jawabnya sambil mengunyah sebongkah lontong.
“Jadi, kau bukan orang asli daerah ini?” tanyaku keheranan.
“Bukan”
Aku menganggukkan kepala. Namun dalam sejuta tanda tanya yang besar. Bagaimana bisa? Orang tuanya adalah seorang kepala desa di sini. Dia tinggal dimana? Bintik penasaran itu mulai menggelembung.
“Maukah kau menjadi kekasihku? Aku sangat mencintaimu, Miqdad?” tatapan matanya menusuk tajam retinaku. Sedikit pun tak bergeming. Kulihat sepasang matanya bening teduh cemerlang. Seperti fajar menyibak kabut jalang yang melintang. Aku tak kuasa bila dipandangi seseorang. Terlebih seorang wanita. Itu membuat badanku bergemetaran dalam dentam yang tak karuan.
Aku harus menjawabnya tegas. Bahwa aku sudah tak mau lagi menjalin hubungan seperti itu lagi. Kalau pun dia menawarkan untuk menikahinya. Maka segera aku pikirkan matang-matang. Namun bila pacaran tak ada yang perlu dipikirkan. Karena jawabanku adalah tidak.
“Maaf, jika menjadi kekasihmu aku tak bisa” jawaban ini sering terucap dari sepasang bibirku.
Tiba-tiba Falah beranjak pergi tanpa sepatah kata pun. Pergi begitu cepat hilang dari pandanganku. Aku tahu bahwa ia sedang menyembunyikan air matanya. Sangat paham dengan kekecewaannya padaku. Karena dia bukan satu-satunya wanita yang menginginkan aku menjadi kekasihnya. Melainkan sudah ada yang lebih dulu mendahuluinya. Dengan nasib yang sama seperti dirinya saat ini. Kadang aku sendiri sedih dan tak tega bila melihat seorang wanita menangis. Namun apalah daya. Demi kebaikanku dan kebaikannya. Semoga saja ia akan paham maksudku.
Aku tinggalkan uang di meja berbentuk persegi ini. Hendak pergi ke masjid terdekat dari sini. Kulihat di meja itu ada selarik kalimat “Kau akan menyesal!”. Apa maksudnya? Dia mengancamku karena penolakan tadi? Entahlah. Aku harus segera ke masjid supaya tak terlambat untuk berjama’ah.
“Maaf, pak? makanan di meja ini telah dibayar. Jadi, uang bapak silahkan dibawa kembali” salah satu pelayan pria mengingatkanku.
“Ohh, iya terima kasih” jawabku sambil beringsut menuju tungganganku yang di parkir oleh anak buah Falah tadi.
Sejurus kemudian beranjak pergi menuju masjid yang terdengar dengan kumandang adzan merdu itu. Angin senja menjelang malam itu bertabur warna kemerah-merahan di ufuk barat.
***
Share:

0 komentar:

Post a Comment

GEMPITA, Wahid Najmun Al-Farisi (Musafir Ilmu dan Cinta). Powered by Blogger.

Text Widget

"Jadilah sebaik-baik manusia, dengan selalu berbuat baik tanpa takut tak dihargai, tanpa takut tak mendapat balasan. Karena berbuat baikmu hanya ikhlas kepada Tuhan dan atas dasar kemanusiaan. Bukan karena satu pemikiran, satu agama, satu pandangan. Namun hanya satu tujuan untuk berbuat kebaikan kepada sesama."

Reriak Jiwa

Wikipedia

Search results

Sample Text

Jadikan setiap yang anda lihat, dengar dan rasakan menjadi pelajran berharga dalam hidup. Guru terbaik sepanjang zaman adalah Pengalaman. Tak peduli apakah itu pengalaman gagal atau kesuksesan.

"Tulisan adalah nyawa kedua setelah kematian"

Cloud Label

Video (4)

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Followers

Total Pageviews

Powered By Blogger

Label


Religion

Religion

Blog List

Translate

Labels

Blog Archive

Blogger templates