Ketika Miqdad Datang
Episode 4 (Lima
Belas Menit itu)
Keriyip
mentari pagi mengintip di balik bukit. Namun sinarnya mulai berpendar memicing
kilau di ufuk timur. Tampaknya hari ini akan terang-benerang dengan kerlip
matanya. Ekor surya itu telah siap mengepakkan sayapnya menuju senja. Begitu
seterusnya. Dia pada keistiqamahannya menyibak kegelapan dunia ini. Namun sehebat-hebatnya
ia bercahaya, dia juga mempunyai suatu titik dimana diterka masalah. Bahkan tak
dapat bersembunyi dari masalah itu. Lihatlah ketika gerhana datang. Bukan hanya
dunia yang kita huni saja yang menuai kelam. Tapi tubuhnya juga pun dalam
kelegaman yang mendalam. Aku sangat menghargai jasanya kepada bumi ini. Dengan
sinar dan panasnya. Termasuk mengeringkan milyaran helai pakaian.
Sembari
memeras dan menjemur pakaian aku memandang. Bernyanyi ria mendendangkan lagu. “Kun
Anta”. Namun yang paling sering diplay
adalah semua album Bang Ebiet G. Ade.
Kulihat ada
sesuatu yang menonjol pada saku bajuku. Ahh... aku langsung berasumsi bahwa itu
sampah. Karena tak jarang aku mengantongi bungkus permen atau snack bila jauh
dari kotak sampah. Mungkin itu juga sampah. Kugerayahi lalu kuambil seraya
kubuang. Kejadian itu begitu cepat.
“Astaghfirullah... aduh...aduhh”
tampaknya itu suara paman.
Ternyata
benar. Sampah yang kulemparkan tadi mengenai jidat paman. Aku berpura-pura saja
tak bersalah. Walaupun secara rasional tak ada orang lain di situ selain aku
dan paman. paman mengambil sampah itu dan seperti mengejanya “D-W-I N-U-R”.
Segera dengan sigap aku merebutnya.
“Maaf paman?
tadi aku yang melemparnya. Niatnya aku lempar ke kotak sampah itu. Ehh malah
terkena paman. he he...” sedangkan sampah itu aku kantongi di saku celanaku.
“Lain kali
hati-hati kalau melempar sesuatu. Jangan asal-asalan! Bisa-bisa kamu menyesal le?” kata-kata itu seperti sebuah
nasehat di semburat sirna embun itu.
“Injeh Paman?”
sahutku.
Kulihat paman
perlahan meninggalkanku ke arah depan rumah. Bayangannya mulai hilang. Dia
memang benar-benar telah sirna dari pandanganku. Dengan penasaran kubuka
lipatan kertas itu. Tertulis nama Dwi Nurfalah. Aku sontak teringat gadis
cantik yang berjalan di galengan
sawah. Lalu ia berteduh dari lebatnya hujan di gubuk pamanku. Bila dilihat dari
dekat, pikiranku jauh mengembara bersama bayangan manisnya. Wajahnya sering
terbersit dan selalu hadir dalam kanvas anganku. Ahh imajinasiku sangat kreatif
dalam masalah ini. tak bisa sedikit pun berlindung dari gelembung-gelembung
cinta. Apakah aku mulai menyukainya? Mungkin hanya sesaat. Biarlah aku
sembunyikan cinta ini. Aku siap atas hembusan angin kegetiran. Bahkan bila pun
aku terduduk dalam singgasana hati yang berapi membara.
Kubuka perlahan
lipatan itu. Ada beberapa angka berbaris di sana. Melambaikan tangan manisnya. Ya.
Itu nomor HaPe, Pin BBM, nomor WA dan
alamat rumah lengkap. Serta tertulis kata berpetik di bawahnya “Aku adalah aliran sungai, sedangkan engkau
adalah sampan. Ke muara atau ke hulu engkau?” aku tahu apa maksud dari
gadis bernama Falah itu. Tak terasa degup jantungku menggelegak. Aroma cinta
pun mulai deras mengalir tak terbendung. Buih-buih bertebaran dalam
kesukariaannya. Kuingat lagi senyuman yang teduh menggaris dibibirnya. Cipratan
embun sejuk dan tenang. Tergambar jelas bagaiamana ia bertutur kata. Pemalu. Anggun.
Apakah dia menicintaiku?
“Astaghfirullahal ‘adziim” kuusap
keningku. Tempo lalu aku berjanji pada diri sendiri untuk tak mencintai seorang
wanita. Karena ia ibarat tumpahan tinta dalam kanvas hati. Akan melebar bersama
getar-getar dan deru bisikan setan. Wanita yang kuanggap pemalu, anggun dengan
kecantikannya itu berani memberiku cara untuk menghubunginya.
***
Agendaku hari
ini adalah mensurvei beberapa perkebunan kelapa sawit milik ayahku. Ya. Ayahku memiliki
sawah di sini, pamanlah yang mengurusnya. Mungkin setelah ashar aku berangkat
sendiri. Karena paman harus menyelesaikan urusan lain.
Kuperiksa perkebunan
sawit puluhan hektare itu dengan kilat. Tak lupa kusambangi suatu titik dimana
ada pertambangan di situ. Pertambangan emas murni yang hanya ayah, paman dan
aku saja yang tahu. Kulihat semuanya aman dalam kode rahasia yang super lengkap
itu.
Di perjalanan
pulang aku dihadang oleh kawanan orang yang tak kukenal. Mereka semua berbadan
besar. Andaikan mereka ingin merampokku. Apa yang akan mereka dapat? Atau mereka
ingin membunuhku? Sebelum itu terjadi akan aku buat mereka babak belur dengan
silat yang kumiliki. Benar. Ternyata mereka berempat berwajah sinis dan garang
kepadaku. Berdiri diantara dua mobil Jeep
hitam.
Aku turun dari
tungganganku. Yamaha Vixion. Otot-ototku mulai mengerang siap berperang. Kupasang
wajah garang pula kepada mereka. Namun percuma saja. Kata ibu wajahku selalu
manis dalam keadaan apapun. Termasuk saat ini. Tapi tak ada satu pun keluargaku
yang meremehkan kemampuan beladiri yang kumiliki.
Langkahku terhenti
sejenak. Kulihat seseorang turun dari salah satu mobil itu. Sepatu berwarna
merah nan tinggi menapak tanah. Terlihat mempesona gaun merah yang
dikenakannya. Falah. Rambut gadis itu terurai oleh sapuan angin senja. Kacamata
bening membuatnya semakin anggun. Namun itu yang membuatku segera menundukkan
pandangan. Dia berjalan mendekatiku.
“Maukah
berkencan denganku malam ini?” suara lembut itu menggetarkan jiwaku.
“Maaf. Aku tak
bisa. Malam nanti ada acara.” Jawabku tenang. Karena benar nanti malam ada
acara. Yaitu persiapan keberangkatan pengiriman barang tambang.
“Sore ini?”
kali ini wajahnya ia dekatkan mataku yang tertunduk. Pandangannya menabrak
keras bola mataku. Yap. Aku teramat lemah di depan wanita. Bahkan jika aku di
suruh memilih antara menghadapi puluhan orang bertarung dan menghadapi satu
wanita. Maka aku pilih menghadapi puluhan orang saja.
“Aku juga tak
bisa. Karena dua puluh menit lagi aku harus beribadah. Maaf?” sahutku singkat.
“Oke aku hanya
perlu lima belas menit saja. Motormu biar anak buahku yang membawa. Sedangkan engkau
naik mobil bersamaku. Bagaiamana? Tak ada alasan lain?” kali ini dia membuatku
terdiam. Aku menganggukkan kepala. Aku tak bisa beralasan lagi. Benar. Aku sangat
lemah di depan wanita. Lima belas menit yang lama bagiku.
***
0 komentar:
Post a Comment