Gerakan Menuju Pos Cita-cita "Cerpen, Puisi, Traveller, Motivasi dan Gaya Hidup menjadi tautan asa dalam sebuah Selasar Nektar Kata"

Semesta

Thursday, May 12, 2016

Serial: Ketika Miqdad Datang (Episode 4 "Lima Belas Menit itu")


Ketika Miqdad Datang

Episode 4 (Lima Belas Menit itu)
Keriyip mentari pagi mengintip di balik bukit. Namun sinarnya mulai berpendar memicing kilau di ufuk timur. Tampaknya hari ini akan terang-benerang dengan kerlip matanya. Ekor surya itu telah siap mengepakkan sayapnya menuju senja. Begitu seterusnya. Dia pada keistiqamahannya menyibak kegelapan dunia ini. Namun sehebat-hebatnya ia bercahaya, dia juga mempunyai suatu titik dimana diterka masalah. Bahkan tak dapat bersembunyi dari masalah itu. Lihatlah ketika gerhana datang. Bukan hanya dunia yang kita huni saja yang menuai kelam. Tapi tubuhnya juga pun dalam kelegaman yang mendalam. Aku sangat menghargai jasanya kepada bumi ini. Dengan sinar dan panasnya. Termasuk mengeringkan milyaran helai pakaian.
Sembari memeras dan menjemur pakaian aku memandang. Bernyanyi ria mendendangkan lagu. “Kun Anta”. Namun yang paling sering diplay adalah semua album Bang Ebiet G. Ade.
Kulihat ada sesuatu yang menonjol pada saku bajuku. Ahh... aku langsung berasumsi bahwa itu sampah. Karena tak jarang aku mengantongi bungkus permen atau snack bila jauh dari kotak sampah. Mungkin itu juga sampah. Kugerayahi lalu kuambil seraya kubuang. Kejadian itu begitu cepat.
Astaghfirullah... aduh...aduhh” tampaknya itu suara paman.
Ternyata benar. Sampah yang kulemparkan tadi mengenai jidat paman. Aku berpura-pura saja tak bersalah. Walaupun secara rasional tak ada orang lain di situ selain aku dan paman. paman mengambil sampah itu dan seperti mengejanya “D-W-I N-U-R”. Segera dengan sigap aku merebutnya.
“Maaf paman? tadi aku yang melemparnya. Niatnya aku lempar ke kotak sampah itu. Ehh malah terkena paman. he he...” sedangkan sampah itu aku kantongi di saku celanaku.
“Lain kali hati-hati kalau melempar sesuatu. Jangan asal-asalan! Bisa-bisa kamu menyesal le?” kata-kata itu seperti sebuah nasehat di semburat sirna embun itu.
“Injeh Paman?” sahutku.
Kulihat paman perlahan meninggalkanku ke arah depan rumah. Bayangannya mulai hilang. Dia memang benar-benar telah sirna dari pandanganku. Dengan penasaran kubuka lipatan kertas itu. Tertulis nama Dwi Nurfalah. Aku sontak teringat gadis cantik yang berjalan di galengan sawah. Lalu ia berteduh dari lebatnya hujan di gubuk pamanku. Bila dilihat dari dekat, pikiranku jauh mengembara bersama bayangan manisnya. Wajahnya sering terbersit dan selalu hadir dalam kanvas anganku. Ahh imajinasiku sangat kreatif dalam masalah ini. tak bisa sedikit pun berlindung dari gelembung-gelembung cinta. Apakah aku mulai menyukainya? Mungkin hanya sesaat. Biarlah aku sembunyikan cinta ini. Aku siap atas hembusan angin kegetiran. Bahkan bila pun aku terduduk dalam singgasana hati yang berapi membara.
Kubuka perlahan lipatan itu. Ada beberapa angka berbaris di sana. Melambaikan tangan manisnya. Ya. Itu nomor HaPe, Pin BBM, nomor WA dan alamat rumah lengkap. Serta tertulis kata berpetik di bawahnya “Aku adalah aliran sungai, sedangkan engkau adalah sampan. Ke muara atau ke hulu engkau?” aku tahu apa maksud dari gadis bernama Falah itu. Tak terasa degup jantungku menggelegak. Aroma cinta pun mulai deras mengalir tak terbendung. Buih-buih bertebaran dalam kesukariaannya. Kuingat lagi senyuman yang teduh menggaris dibibirnya. Cipratan embun sejuk dan tenang. Tergambar jelas bagaiamana ia bertutur kata. Pemalu. Anggun. Apakah dia menicintaiku?
“Astaghfirullahal ‘adziim” kuusap keningku. Tempo lalu aku berjanji pada diri sendiri untuk tak mencintai seorang wanita. Karena ia ibarat tumpahan tinta dalam kanvas hati. Akan melebar bersama getar-getar dan deru bisikan setan. Wanita yang kuanggap pemalu, anggun dengan kecantikannya itu berani memberiku cara untuk menghubunginya.
***
Agendaku hari ini adalah mensurvei beberapa perkebunan kelapa sawit milik ayahku. Ya. Ayahku memiliki sawah di sini, pamanlah yang mengurusnya. Mungkin setelah ashar aku berangkat sendiri. Karena paman harus menyelesaikan urusan lain.
Kuperiksa perkebunan sawit puluhan hektare itu dengan kilat. Tak lupa kusambangi suatu titik dimana ada pertambangan di situ. Pertambangan emas murni yang hanya ayah, paman dan aku saja yang tahu. Kulihat semuanya aman dalam kode rahasia yang super lengkap itu.
Di perjalanan pulang aku dihadang oleh kawanan orang yang tak kukenal. Mereka semua berbadan besar. Andaikan mereka ingin merampokku. Apa yang akan mereka dapat? Atau mereka ingin membunuhku? Sebelum itu terjadi akan aku buat mereka babak belur dengan silat yang kumiliki. Benar. Ternyata mereka berempat berwajah sinis dan garang kepadaku. Berdiri diantara dua mobil Jeep hitam.
Aku turun dari tungganganku. Yamaha Vixion. Otot-ototku mulai mengerang siap berperang. Kupasang wajah garang pula kepada mereka. Namun percuma saja. Kata ibu wajahku selalu manis dalam keadaan apapun. Termasuk saat ini. Tapi tak ada satu pun keluargaku yang meremehkan kemampuan beladiri yang kumiliki.
Langkahku terhenti sejenak. Kulihat seseorang turun dari salah satu mobil itu. Sepatu berwarna merah nan tinggi menapak tanah. Terlihat mempesona gaun merah yang dikenakannya. Falah. Rambut gadis itu terurai oleh sapuan angin senja. Kacamata bening membuatnya semakin anggun. Namun itu yang membuatku segera menundukkan pandangan. Dia berjalan mendekatiku.
“Maukah berkencan denganku malam ini?” suara lembut itu menggetarkan jiwaku.
“Maaf. Aku tak bisa. Malam nanti ada acara.” Jawabku tenang. Karena benar nanti malam ada acara. Yaitu persiapan keberangkatan pengiriman barang tambang.
“Sore ini?” kali ini wajahnya ia dekatkan mataku yang tertunduk. Pandangannya menabrak keras bola mataku. Yap. Aku teramat lemah di depan wanita. Bahkan jika aku di suruh memilih antara menghadapi puluhan orang bertarung dan menghadapi satu wanita. Maka aku pilih menghadapi puluhan orang saja.
“Aku juga tak bisa. Karena dua puluh menit lagi aku harus beribadah. Maaf?” sahutku singkat.
“Oke aku hanya perlu lima belas menit saja. Motormu biar anak buahku yang membawa. Sedangkan engkau naik mobil bersamaku. Bagaiamana? Tak ada alasan lain?” kali ini dia membuatku terdiam. Aku menganggukkan kepala. Aku tak bisa beralasan lagi. Benar. Aku sangat lemah di depan wanita. Lima belas menit yang lama bagiku.
***
Share:

0 komentar:

Post a Comment

GEMPITA, Wahid Najmun Al-Farisi (Musafir Ilmu dan Cinta). Powered by Blogger.

Text Widget

"Jadilah sebaik-baik manusia, dengan selalu berbuat baik tanpa takut tak dihargai, tanpa takut tak mendapat balasan. Karena berbuat baikmu hanya ikhlas kepada Tuhan dan atas dasar kemanusiaan. Bukan karena satu pemikiran, satu agama, satu pandangan. Namun hanya satu tujuan untuk berbuat kebaikan kepada sesama."

Reriak Jiwa

Wikipedia

Search results

Sample Text

Jadikan setiap yang anda lihat, dengar dan rasakan menjadi pelajran berharga dalam hidup. Guru terbaik sepanjang zaman adalah Pengalaman. Tak peduli apakah itu pengalaman gagal atau kesuksesan.

"Tulisan adalah nyawa kedua setelah kematian"

Cloud Label

Video (4)

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Followers

Total Pageviews

Powered By Blogger

Label


Religion

Religion

Blog List

Translate

Labels

Blog Archive

Blogger templates