Ketika Miqdad Datang
Episode 7 (Bulan
Sabit Yang Terbahak-bahak)
“Rumah asli
Ustadz Anam dimana?” menyeret sepatunya dan mendekati seorang ustadz yang baru
dikenalnya itu.
Ustadz Anam
yang terduduk di emperan masjid itu sedikit kaget dengan kehadiran Miqdad.
“Pertanyaan yang bagus, Nak Miqdad? Sekarang saya tanya dulu kepada kau. Mau
alamat rumah yang baru atau yang lama?” seringai senyum itu menyibak terang
temaram rembulan. Awan hitam berlalu dalam kebingungan.
“Dua-dua nya
saja, Ustadz? He he ... Siapa tahu saya dapat berkunjung ke sana”
“Tapi dengan
satu syarat, ya Nak?” sambil mengacungkan telunjuk beliau tepat di depan wajah
Miqdad. “Dan aku tahu bahwa kau adalah orang yang amanah”
“Syaratnya apa
itu, Ustadz?”
Ustadz Anam
merogoh tas kecilnya. Seperti kartu nama beliau serahkan kepada Miqdad “Ini
alamat rumah lama saya, insyaAllah
itu rumah yang akan kudiami hingga menutup usia”. Sedangkan satu kartu nama
lain ia masukkan ke dalam sebuah amplop kecil lalu direkatkan rapat-rapat.
Menyodorkannya lagi “Yang ini alamat rumah baru, boleh di buka ketika telah
mendapat izin dariku kelak di saat yang tepat. Siap?”
“Kalau boleh
tahu kenapa Ustadz Anam mempunyai rumah baru? Sedangkan tak ada kemungkinan
untuk ditinggali?” Miqdad mengernyitkan dahi. Dia seperti tenggelam dalam
kebingungan.
“Akan aku
jawab ketika kau telah diizinkan untuk mengetahuinya. Tapi jika tidak? Maka tidak
untuk selamanya” sahut Ustadz Anam dengan tegas. Nada bicaranya lebih tinggi. Namun
terdengar pekikan tawa tersembunyi yang tak dipahami oleh pemuda itu.
“Hemm... Walaupun
aku tak paham dengan maksdu ustadz menyembunyikan hal itu. Aku tetap setia
menunggu waktu itu tiba. He he he” berlagak puitis.
“Bagus kalau
begitu, Nak!” mengacungkan ibu jari beliau bersamaan dengan seringai senyum
mengembang. “Aku harus pergi dulu. Sudah ditunggu keluargaku di sana” menunjuk
ke arah parkir. Di sana telah ada tiga bidadari berbaris di samping mobil
Pajero Sport bercat hitam itu.
Miqdad menelan
ludahnya dalam-dalam. Ada tiga bidadari. Yang satu dipastikan adalah putrinya. Terlihat
masih kecil sekitar seumuran anak SD. Sedangkan dua wanita bercadar? Mungkinkah
mereka istri-istri Ustadz Anam? Miqdad berpikir tentang dirinya yang belum bisa
menyempurnakan agamanya. Sedangkan seseorang di sampingnya sudah mempunyai dua.
Miqdad melongo dalam kebisuan.
“Serba hitam
itu adalah istriku, Nak? Sedangkan yang berwarna serab biru itu adalah anak
gadisku” Miqdad menghela nafas panjang. Namun seketika terisak dan seolah
berhenti seperti tanda baca saktah
dalam al-Qur’an. Ustadz Anam menyebut salah satu bidadari itu adalah putrinya?
Angin malam
itu mulai menyapu khimar kedua bidadari
itu. Desir hati Miqdad menggebu bahagia. Dia pun tak tahu apa yang membuatnya
bahagia. Bahkan hanya sekilas saja ia memandang gadis dengan aurat serba
tertutup itu. Namun itu cukup membuat hatinya berantakan. Warna biru seolah
merubah langit malam itu menjadi merah merona. Bagaimana bisa biru menjadi berwarna
merah hati? Bahkan bintang yang semula kerlip berpendar terang. Berubah menjadi
terang kemerah-merahan. Bahkan bintang sudah tak lagi berbentuk seperti semula.
Ia menjelma menjadi lukisan daun waru yang terang. Sedangkan rembulan terkekeh
melihat imajinasi Miqdad yang tertunduk. Walaupun rembulan belum purnama. Namun
terang gemintang mengalahkan sinar biasanya. Ya. Bulan sabit lentik itu kembali
tertawa kecil pada Miqdad. Tampaknya pemuda itu sedang membuat hatinya tenang. Dielus
dadanya berulang kali perlahan lembut. Malam itu benar-benar membuat hatinya
tertampar gempa.
“Putriku telah
melabuhkan cintanya dengan tepat?”
Kata-kata itu
membuat kekeh bulan sabit itu berubah menjadi garang. Pendar bintang-gemintang
menjelma sambaran petir tajam menghujam. Bahkan hatinya yang belum sempat
tenang kembali diguncang dengan keganasan. Tak terasa bening-bening di jendela
matanya. Sembab kemerah-merahan. Nafasnya terengah tak beraturan.
“Sampai saat
ini putriku hanya melabuhkan cintanya kepada Rabb-nya saja. Dia hanya sebatas
bidadari tanpa sayap. Terlihat sempurna namun belum bisa terbang dengan sayap. Jadi
agamanya belum sempurna. Seperti kau, Nak Miqdad?” tanpa sepatah kata pun
Miqdad seperti meleleh mendengar ucapan Ustadz Anam. Sebegitu berharapkah ia
dengan putri ustadz itu? Dia sendiri tak tahu. Kali ini ia telah diperbudak
oleh hatinya. Dan baru saat ini seorang Miqdad tak bisa mengendalikan hatinya.
Miqdad masih
terdiam. Bisa jadi dia lupa bahwa memiliki pita suara. Hanya anggukan kepala
dan isyarat mata. “Aku pamit, Nak? Jaga dirimu baik-baik. Kutuggu kau
berkunjung ke rumahku”. Mengajakku bersalaman dan mendekat ke telinga kanan
Miqdad. Seraya berbisik “Saranku untukmu adalah ‘usahakan kedatanganmu tak
sendirian’. Itu hanya sebuah saran. Assalamualaikum
Warahmatullah” menepuk pundaknya. Lalu mereka berpelukan. Tetes air matanya
menempel di pakaian Ustadz Anam. Dia benar-benar telah paham maksud seorang
ustadz yang kini memeluknya itu.
Ustadz Anam
pun sekelebat telah sampai di mobilnya. Dari kejauhan terlihat melambaikan
tangannya. Sekilas pula Miqdad melihat gadis bercadar biru itu. Hatinya kembali
bergemuruh. “Astaghfirullah” berulang
kali ia beristighfar. Hanya itu yang bisa diucapkannya. Mobil itu akhirnya
benar-benar hilang dari pandangannya. Ada duka atas perpisahan dalam pertemuan
sejenak itu. Namun tersirat asa manis bercumbu asmara terbungkus dalm rindu dan
penantian. Semoga Allah memberinya jalan terbaik untuk mepertemukan ia dengan
jodohnya kelak.
Dia berjalan
mendekati tunggangannya. Dibunyikannya dengan perlahan. Namun suaranya sedikit
tak ramah. Meraung-raung terbakar api kerinduan. Rindu yang dia sendiri tak
tahu dari mana asalanya. Datang secara tiba-tiba serta hilang serta merta.
Diinjaknya gigi
pertama. Ada yang aneh dan tak biasa. Dilihatnya ke arah gigi itu berada. Tak ada
masalah. Namun dia melihat kakinya yang telanjang tanpa sepatu maupun kaos kaki
yang membalut. Dilihatnya kaki bagian kanan. Di sana telah rapi sepatu dengan
kaos kakinya. Lalu hilang di mana sepatu bagian kirinya? Motor perlahan digas
melewati pelataran masjid. Hingga sampai tepat di depan teras masjid. Terdengar
rintihan kesedihan. Ya. Suara itu berasal dari sepatu Miqdad yang baru saja
ditinggalnya. Sedangkan Miqdad segera menghampiri dan memakainya. Berulang kali
tanpa sadar Ia menepuk jidatnya. Tertawa atas kelakuannya. Malam itu menjadi
malam pertama baginya diperbudak oleh rasa. Bulan sabit yang sedari tadi
terkekeh, kini mulai terdengar terbahak-bahak menertawakan pemuda itu.
***
0 komentar:
Post a Comment