Gerakan Menuju Pos Cita-cita "Cerpen, Puisi, Traveller, Motivasi dan Gaya Hidup menjadi tautan asa dalam sebuah Selasar Nektar Kata"

Semesta

Saturday, May 21, 2016

Serial: Ketika Miqdad Datang (Episode 7 "Bulan Sabit Yang Terbahak-bahak")


Ketika Miqdad Datang

Episode 7 (Bulan Sabit Yang Terbahak-bahak)
“Rumah asli Ustadz Anam dimana?” menyeret sepatunya dan mendekati seorang ustadz yang baru dikenalnya itu.
Ustadz Anam yang terduduk di emperan masjid itu sedikit kaget dengan kehadiran Miqdad. “Pertanyaan yang bagus, Nak Miqdad? Sekarang saya tanya dulu kepada kau. Mau alamat rumah yang baru atau yang lama?” seringai senyum itu menyibak terang temaram rembulan. Awan hitam berlalu dalam kebingungan.
“Dua-dua nya saja, Ustadz? He he ... Siapa tahu saya dapat berkunjung ke sana”
“Tapi dengan satu syarat, ya Nak?” sambil mengacungkan telunjuk beliau tepat di depan wajah Miqdad. “Dan aku tahu bahwa kau adalah orang yang amanah”
“Syaratnya apa itu, Ustadz?”
Ustadz Anam merogoh tas kecilnya. Seperti kartu nama beliau serahkan kepada Miqdad “Ini alamat rumah lama saya, insyaAllah itu rumah yang akan kudiami hingga menutup usia”. Sedangkan satu kartu nama lain ia masukkan ke dalam sebuah amplop kecil lalu direkatkan rapat-rapat. Menyodorkannya lagi “Yang ini alamat rumah baru, boleh di buka ketika telah mendapat izin dariku kelak di saat yang tepat. Siap?”
“Kalau boleh tahu kenapa Ustadz Anam mempunyai rumah baru? Sedangkan tak ada kemungkinan untuk ditinggali?” Miqdad mengernyitkan dahi. Dia seperti tenggelam dalam kebingungan.
“Akan aku jawab ketika kau telah diizinkan untuk mengetahuinya. Tapi jika tidak? Maka tidak untuk selamanya” sahut Ustadz Anam dengan tegas. Nada bicaranya lebih tinggi. Namun terdengar pekikan tawa tersembunyi yang tak dipahami oleh pemuda itu.
“Hemm... Walaupun aku tak paham dengan maksdu ustadz menyembunyikan hal itu. Aku tetap setia menunggu waktu itu tiba. He he he” berlagak puitis.
“Bagus kalau begitu, Nak!” mengacungkan ibu jari beliau bersamaan dengan seringai senyum mengembang. “Aku harus pergi dulu. Sudah ditunggu keluargaku di sana” menunjuk ke arah parkir. Di sana telah ada tiga bidadari berbaris di samping mobil Pajero Sport bercat hitam itu.
Miqdad menelan ludahnya dalam-dalam. Ada tiga bidadari. Yang satu dipastikan adalah putrinya. Terlihat masih kecil sekitar seumuran anak SD. Sedangkan dua wanita bercadar? Mungkinkah mereka istri-istri Ustadz Anam? Miqdad berpikir tentang dirinya yang belum bisa menyempurnakan agamanya. Sedangkan seseorang di sampingnya sudah mempunyai dua. Miqdad melongo dalam kebisuan.
“Serba hitam itu adalah istriku, Nak? Sedangkan yang berwarna serab biru itu adalah anak gadisku” Miqdad menghela nafas panjang. Namun seketika terisak dan seolah berhenti seperti tanda baca saktah dalam al-Qur’an. Ustadz Anam menyebut salah satu bidadari itu adalah putrinya?
Angin malam itu mulai menyapu khimar kedua bidadari itu. Desir hati Miqdad menggebu bahagia. Dia pun tak tahu apa yang membuatnya bahagia. Bahkan hanya sekilas saja ia memandang gadis dengan aurat serba tertutup itu. Namun itu cukup membuat hatinya berantakan. Warna biru seolah merubah langit malam itu menjadi merah merona. Bagaimana bisa biru menjadi berwarna merah hati? Bahkan bintang yang semula kerlip berpendar terang. Berubah menjadi terang kemerah-merahan. Bahkan bintang sudah tak lagi berbentuk seperti semula. Ia menjelma menjadi lukisan daun waru yang terang. Sedangkan rembulan terkekeh melihat imajinasi Miqdad yang tertunduk. Walaupun rembulan belum purnama. Namun terang gemintang mengalahkan sinar biasanya. Ya. Bulan sabit lentik itu kembali tertawa kecil pada Miqdad. Tampaknya pemuda itu sedang membuat hatinya tenang. Dielus dadanya berulang kali perlahan lembut. Malam itu benar-benar membuat hatinya tertampar gempa.
“Putriku telah melabuhkan cintanya dengan tepat?”
Kata-kata itu membuat kekeh bulan sabit itu berubah menjadi garang. Pendar bintang-gemintang menjelma sambaran petir tajam menghujam. Bahkan hatinya yang belum sempat tenang kembali diguncang dengan keganasan. Tak terasa bening-bening di jendela matanya. Sembab kemerah-merahan. Nafasnya terengah tak beraturan.
“Sampai saat ini putriku hanya melabuhkan cintanya kepada Rabb-nya saja. Dia hanya sebatas bidadari tanpa sayap. Terlihat sempurna namun belum bisa terbang dengan sayap. Jadi agamanya belum sempurna. Seperti kau, Nak Miqdad?” tanpa sepatah kata pun Miqdad seperti meleleh mendengar ucapan Ustadz Anam. Sebegitu berharapkah ia dengan putri ustadz itu? Dia sendiri tak tahu. Kali ini ia telah diperbudak oleh hatinya. Dan baru saat ini seorang Miqdad tak bisa mengendalikan hatinya.
Miqdad masih terdiam. Bisa jadi dia lupa bahwa memiliki pita suara. Hanya anggukan kepala dan isyarat mata. “Aku pamit, Nak? Jaga dirimu baik-baik. Kutuggu kau berkunjung ke rumahku”. Mengajakku bersalaman dan mendekat ke telinga kanan Miqdad. Seraya berbisik “Saranku untukmu adalah ‘usahakan kedatanganmu tak sendirian’. Itu hanya sebuah saran. Assalamualaikum Warahmatullah” menepuk pundaknya. Lalu mereka berpelukan. Tetes air matanya menempel di pakaian Ustadz Anam. Dia benar-benar telah paham maksud seorang ustadz yang kini memeluknya itu.
Ustadz Anam pun sekelebat telah sampai di mobilnya. Dari kejauhan terlihat melambaikan tangannya. Sekilas pula Miqdad melihat gadis bercadar biru itu. Hatinya kembali bergemuruh. “Astaghfirullah” berulang kali ia beristighfar. Hanya itu yang bisa diucapkannya. Mobil itu akhirnya benar-benar hilang dari pandangannya. Ada duka atas perpisahan dalam pertemuan sejenak itu. Namun tersirat asa manis bercumbu asmara terbungkus dalm rindu dan penantian. Semoga Allah memberinya jalan terbaik untuk mepertemukan ia dengan jodohnya kelak.
Dia berjalan mendekati tunggangannya. Dibunyikannya dengan perlahan. Namun suaranya sedikit tak ramah. Meraung-raung terbakar api kerinduan. Rindu yang dia sendiri tak tahu dari mana asalanya. Datang secara tiba-tiba serta hilang serta merta.
Diinjaknya gigi pertama. Ada yang aneh dan tak biasa. Dilihatnya ke arah gigi itu berada. Tak ada masalah. Namun dia melihat kakinya yang telanjang tanpa sepatu maupun kaos kaki yang membalut. Dilihatnya kaki bagian kanan. Di sana telah rapi sepatu dengan kaos kakinya. Lalu hilang di mana sepatu bagian kirinya? Motor perlahan digas melewati pelataran masjid. Hingga sampai tepat di depan teras masjid. Terdengar rintihan kesedihan. Ya. Suara itu berasal dari sepatu Miqdad yang baru saja ditinggalnya. Sedangkan Miqdad segera menghampiri dan memakainya. Berulang kali tanpa sadar Ia menepuk jidatnya. Tertawa atas kelakuannya. Malam itu menjadi malam pertama baginya diperbudak oleh rasa. Bulan sabit yang sedari tadi terkekeh, kini mulai terdengar terbahak-bahak menertawakan pemuda itu.
***
Share:

0 komentar:

Post a Comment

GEMPITA, Wahid Najmun Al-Farisi (Musafir Ilmu dan Cinta). Powered by Blogger.

Text Widget

"Jadilah sebaik-baik manusia, dengan selalu berbuat baik tanpa takut tak dihargai, tanpa takut tak mendapat balasan. Karena berbuat baikmu hanya ikhlas kepada Tuhan dan atas dasar kemanusiaan. Bukan karena satu pemikiran, satu agama, satu pandangan. Namun hanya satu tujuan untuk berbuat kebaikan kepada sesama."

Reriak Jiwa

Wikipedia

Search results

Sample Text

Jadikan setiap yang anda lihat, dengar dan rasakan menjadi pelajran berharga dalam hidup. Guru terbaik sepanjang zaman adalah Pengalaman. Tak peduli apakah itu pengalaman gagal atau kesuksesan.

"Tulisan adalah nyawa kedua setelah kematian"

Cloud Label

Video (4)

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Followers

Total Pageviews

Powered By Blogger

Label


Religion

Religion

Blog List

Translate

Labels

Blog Archive

Blogger templates