KABUT-KABUT CINTA
Seringai senyuman pagi yang masih petang itu teduh mengepul di balik
kabut. Putih memekat menitikkan sejuk yang teduh merengkuh. Suara speaker
masjid telah berlalu. Walaupun seisi jama’ah shubuh di Masjid Al Hidayah adalah
kaum renta. Usia mereka rata-rata mencapai kepala lima puluh ke atas. Bagaimana
mungkin dunia ini akan baik-baik saja. Sedangkan yang berjama’ah orang-orang
yang sudah senja usianya? Bukankah mereka secara logika akan dijemput lebih
dulu daripada yang muda? Lalu siapa yang akan berjama’ah jika memang mereka
benar-benar meninggalkan dunia?
Aku adalah seorang yang usianya jauh lebih muda dibandingkan dengan
mereka. Usiaku adalah separuh usia mereka. Bahkan ada yang sepertiga usia
mereka. Aku seringkali dilanda malas yang luar biasa. Walaupun sulit untuk
bangkit dari kasur, setidaknya aku punya motivasi kuat untuk bangun. Yaitu
untuk adzan shubuh. Bukan hanya karena tak tega mendengar suara parau
kakek-kakek adzan. Namun diri ini terenyuh dengan semangat mereka di usia
renta. Andaikan anak muda zaman sekarang semangat seperti kakek-kakek ini.
Hemmm... semoga saja.
Seperti pagi biasanya, yaitu berlari mengitari jalan-jalan di desa.
Menikmati panorama indah terhampar di setiap sisinya. Menghirup kesegaran udara
yang masih murni. Belum tercampur polusi sedikit pun. Hanya saja pagi ini
pandanganku tak sejauh kemarin. Mata ini cukup hanya memandang ke depan satu
meter setengah. Kabut pekat ini mendekam sejak shubuh tadi. Tiupan angin tak
membuatnya hilang. Namun cukup singsingan mentari untuk membuatnya sirna
bersama embun pagi bersahaja.
Kuhentikan lari-lari kecilku. Lelah mulai merayap menggerayahi peluhku.
Bulir-bulir keringat memuncrat deras bak jebolnya bendungan sungai. Melihat kabut
ini terbersit tanya di dalam hati. “Mungkinkah cinta itu seperti
butiran-butiran kabut ini? Cinta itu buta, tuli dan mati rasa? Padahal orang
yang dicintai belum tentu baik untuk kita? Ya. Sebelum matahari bersinar, maka
kabut tetap akan menghalangi pandangan. Walaupun terdengar ucapan, hanya sebuah
bayang tanpa tiang. Itulah bayang-bayang gesang yang jalang”.
Diri ini teringat kejadian dua tahun silam.
“Sita. Sudahlah, lupakanlah dia. Kenapa sampai saat ini kau belum bisa move on darinya?” seorang sahabatku
bernama Bayu.
“Aku sudah berusaha, Baper?” Dia kupanggil dengan “Baper”. Kependekan
dari namanya yaitu Bayu Permana.
“Dia itu sudah terlalu sering menyakitimu, kan?” kali ini Baper membuatku
mengepakkan sayap-sayap marah. Dia seolah telah melukai hatiku. Perkataannya
memang ada benarnya. Namun hatiku tak terima begitu saja.
“Aku yang lebih dekat dengannya dibandingkan engkau. Jadi aku tahu
sifatnya. Tak mungkin dia menyakitiku. Mungkin aku nya saja yang terlalu ingin
dimengerti lebih dalam lagi.” Nada jawabku terdengar lugas. Sedikit terselimut
kesal.
“Cinta itu telah membuatmu terseret oleh berbagai tuna, Rosita? Kau
laiknya tunarungu dan tunanetra. Bahkan kau benar-benar terjerat dalam
perangkap tuna asmara. Sadar, Sita!” Baper pun menaikkan pacuan degup
jantungnya. Tampaknya dia lebih kesal dibanding denganku.
“Terserah kau mau bilang apa, Baper. Yang jelas saat ini aku harus
berusaha memahaminya lebih baik lagi. Jadi jangan berprasangka buruk
terhadapnya!” kupalingkan wajah. Berjalan cepat menuju arah yang berlawanan
dari Baper. Tak terasa pintu air mata ini terbuka sedikit demi sedikit.
Beberapa bulirnya mulai bersatu padu membentuk sebuah sungai di pipi ini. Pipi
yang akhir-akhir ini sering dilanda banjir.
Pertengkaran kecil itu sering terjadi. Aku dan sahabatku Baper jarang
bertemu. Bahkan berkomunikasi sebentar pun tidak. Aku tahu bahwa Baper bersikap
begitu karena dia khawatir terhadapku. Seperti sayap-sayap burung yang selalu
menjaga keseimbangan saat terbang. Dialah sendi pada kedua sayapku Namun menurutku
dia terlalu berlebihan mengkhawatirkanku. Dia terlalu baper. Maka ia pantas kupanggil Baper.
Keesokan paginya aku dikejutkan oleh beberapa pesan singkat. Salah satu pesan
itu dikirim oleh seseorang yang telah lama singgah di pelabuhan hatiku. Pesan
yang setiap hari dinantikan. Sebelum membukanya pun seringkali senyum-senyum
sendiri. Walaupun tak selamanya isi pesan itu mengenakkan hati.
“Jangan kau hubungi aku lagi, Sita! Kau benar-benar harus melupakanku.
Kuharap kau tak mengganggu hidupku lagi!” pesan itu menghentikan langkah
merekahnya senyumanku. Remuk tak berdaya. Hati ini hancur berantakan. Mungkin
sebelumnya telah sering menyakitiku. Namun pesan singkatnya itu membuat
jantungku retak. Sehingga detaknya pun seperti guncang gesang gempa jalang yang
menerjang.
Apa salahku. Sehingga membuatnya begitu marah. Apakah aku telah melukai
hatinya? Tapi kapan? Berkomunikasi saja kita amatlah jarang. Di saat seperti
ini aku mencoba mencari kesalahanku padanya. Lagi-lagi dan untuk yang kesekian
kalinya. Aku selalu mencari kesalahanku padanya.
Menjadi stalker atas kesalahan
sendiri itu lebih sulit. Aku tetap saja mencintainya. Mungkin benteng cinta ini
seperti benteng Romawi. Kuat hingga berabad-abad. Sudah dua hari ini tak makan.
Jika di rumah pasti di marah ayah atau ibu. Namun di sini, di kontrakan kecil
ini. Siapa yang peduli terhadapku?
Tok tok tok. . . “Assalamualaikum, Sita?”
suara yang mudah dikenali. Ya. Dia sahabatku. Selalu datang di saat yang tepat.
Dan selalu kucampakkan kesetiaannya.
“Waalaikumsalam, Baper? Apa
sekarang kau akan mengejekku lagi atas kebodohanku? Aku salah telah
mencintainya. Dan aku salah telah memusuhimu karenanya.” Kesadaran perlahan
menggerayahiku. Kata-kata yang keluar pun spontan kuucapkan. Sementara sepasang
mataku yang sembab karena tangisan dua hari yang lalu kembali mengalir. Mungkin
sudah tak sederas kemarin. Air mata ini telah terkuras. Sehingga yang tersisa
hanya air mata bercampur darah lelah. Tak deras namun menyakitkan. Pedih perih
merintih.
“Sudah. Cukuplah airmata mu menangis karenanya”
“Maafkan aku, Baper?” isak tangisku perlahan mendekatinya. Aku berusaha
memeluknya. Karena selama ini dialah yang menjelma menjadi sandaranku. Sandaran
paling nyaman saatku sedih. Walaupun sandarannya hanya sebatas ucapan dan
kata-kata manis. Kata yang terurai seperti embun pagi. Sejuk dan nyaman.
“Eitsss... kita bukan muhrim, Sita. Jangan peluk aku. Jika kau butuh
sandaran atau pelukan. Peluklah adikku. He he” seperti biasa dia mencoba mencairkan
suasana dengan candaannya. Tiba-tiba seorang gadis kecil di depan pintu.
Tanpa sepatah kata pun gadis itu memelukku erat. Aku tak pernah bertemu
dengan gadis yang ternyata adiknya Baper. Bahkan Baper tak pernah cerita padaku
tentang adiknya.
“Aku jadi malu, Dek? Menangis di bahu mu. Siapa namamu?” dia melepaskan
pelukanku. Hanya sungging senyum manis menggaris di bibirnya.
“Namanya Marfu’ah. Bisa dipanggil Fu’ah” Baper menjawabnya pertanyaanku
pada adiknya.
“Sekolah di mana, Dek?”
“Di SMAN 3, Sita. Sekolahan yang berdekatan dengan Kantor Pos” Baper kali
ini membuatku kesal. Dia selalu menjawab pertanyaan yang sebenarnya bukan
untuknya.
“Kenapa kamu terus yang jawab? Berikan kesempatan adikmu menjawab!”
sahutku kesal.
“Jika kau inginkan dia yang menjawab. Maka siapkan kertas dan pena”
jawabnya tegas. Menimbulkan keanehan.
“Maksudmu?”
“Dia tak bisa bicara, Sita”
“Maaf. Aku tidak tahu?”
“Tak apa-apa. Karena aku belum memberi tahumu”
Setelah itu aku larut dalam cerita Baper yang membuatku terbaperkan. Dia menceritakan kronologis
adiknya yang menjadi bisu. Bahkan sampai-sampai aku mulai melupakan masalahku. Ternyata
masalahku hanyalah karena kebodohanku. Sedangkan gadis kecil ini? sangat berat
masalahnya.
Aku mulai sadar bahwa cinta tak semestinya membuat kita tuna segalanya. Karena
cinta sesungguhnya hanya ada dalam balutan rumah tangga. Ada jaminan surga dan
jaminan kebahagiaan di dalamnya. Tidak seperti diriku sebelumnya. Yang mengharapkan
cinta dari seseorang yang jauh di sana. Seseorang yang belum tentu mencintaiku.
Bahkan dia yang sering membuatku mengalirkan sungai pada sepasang mata ini.
Mungkin ini cara Tuhan menyadarkanku. Bahwa selama ini aku terjebak dalam
kabut-kabut putih dan pekat. Seolah fatamorgana kesucian. Namun yang kudapat
hanyalah tangisan. Sudah berapa banyak orang lelah berteriak di telingaku dan
membantuku berjalan dalam pekatnya kabut. Lagi-lagi hanya kembali dalam kabut
yang sama. Bahkan tersisa satu orang saja yang tetap menjadi penerangku dalam
kabut jalang ini. Dia lah yang biasa kupanggil Baper. Layaknya mentari yang
menyingsing di ufuk timur. Melibas kabut hanya dengan sekejap saja. Ya. Lagi-lagi
dia percaya akan kekuatan sabar. Sabar dalam menghadapiku. Dan perantara
adiknya adalah ibarat waktu. Sehingga menyentuh hatiku. Itulah kenangan yang
menjadi pondasiku untuk bangkit. Hidup lebih bermakna dari sedetik yang lalu.
Bersamaan dengan sapuan sinar mentari. Tersapu pula kenangan-kenangan
haru bersama sirnanya kabut-kabut. Menjadi embun sejuk menempel di daun-daun
dan rerumputan nan hijau. Aku bukan takut terhadap kabut-kabut itu. Namun aku
takut tersesat di dalamnya.
***
![]() |
Lihatlah! Kak Wahid yang selalu Tertawa. Bukannya cemberud seperti yag belakang tuhhh |
For My Sister Anggita Listianti
0 komentar:
Post a Comment