Gerakan Menuju Pos Cita-cita "Cerpen, Puisi, Traveller, Motivasi dan Gaya Hidup menjadi tautan asa dalam sebuah Selasar Nektar Kata"

Semesta

Thursday, June 9, 2016

Cerpen: KABUT-KABUT CINTA



 KABUT-KABUT CINTA

Seringai senyuman pagi yang masih petang itu teduh mengepul di balik kabut. Putih memekat menitikkan sejuk yang teduh merengkuh. Suara speaker masjid telah berlalu. Walaupun seisi jama’ah shubuh di Masjid Al Hidayah adalah kaum renta. Usia mereka rata-rata mencapai kepala lima puluh ke atas. Bagaimana mungkin dunia ini akan baik-baik saja. Sedangkan yang berjama’ah orang-orang yang sudah senja usianya? Bukankah mereka secara logika akan dijemput lebih dulu daripada yang muda? Lalu siapa yang akan berjama’ah jika memang mereka benar-benar meninggalkan dunia?
Aku adalah seorang yang usianya jauh lebih muda dibandingkan dengan mereka. Usiaku adalah separuh usia mereka. Bahkan ada yang sepertiga usia mereka. Aku seringkali dilanda malas yang luar biasa. Walaupun sulit untuk bangkit dari kasur, setidaknya aku punya motivasi kuat untuk bangun. Yaitu untuk adzan shubuh. Bukan hanya karena tak tega mendengar suara parau kakek-kakek adzan. Namun diri ini terenyuh dengan semangat mereka di usia renta. Andaikan anak muda zaman sekarang semangat seperti kakek-kakek ini. Hemmm... semoga saja.
Seperti pagi biasanya, yaitu berlari mengitari jalan-jalan di desa. Menikmati panorama indah terhampar di setiap sisinya. Menghirup kesegaran udara yang masih murni. Belum tercampur polusi sedikit pun. Hanya saja pagi ini pandanganku tak sejauh kemarin. Mata ini cukup hanya memandang ke depan satu meter setengah. Kabut pekat ini mendekam sejak shubuh tadi. Tiupan angin tak membuatnya hilang. Namun cukup singsingan mentari untuk membuatnya sirna bersama embun pagi bersahaja.
Kuhentikan lari-lari kecilku. Lelah mulai merayap menggerayahi peluhku. Bulir-bulir keringat memuncrat deras bak jebolnya bendungan sungai. Melihat kabut ini terbersit tanya di dalam hati. “Mungkinkah cinta itu seperti butiran-butiran kabut ini? Cinta itu buta, tuli dan mati rasa? Padahal orang yang dicintai belum tentu baik untuk kita? Ya. Sebelum matahari bersinar, maka kabut tetap akan menghalangi pandangan. Walaupun terdengar ucapan, hanya sebuah bayang tanpa tiang. Itulah bayang-bayang gesang yang jalang”.
Diri ini teringat kejadian dua tahun silam.
“Sita. Sudahlah, lupakanlah dia. Kenapa sampai saat ini kau belum bisa move on darinya?” seorang sahabatku bernama Bayu.
“Aku sudah berusaha, Baper?” Dia kupanggil dengan “Baper”. Kependekan dari namanya yaitu Bayu Permana.
“Dia itu sudah terlalu sering menyakitimu, kan?” kali ini Baper membuatku mengepakkan sayap-sayap marah. Dia seolah telah melukai hatiku. Perkataannya memang ada benarnya. Namun hatiku tak terima begitu saja.
“Aku yang lebih dekat dengannya dibandingkan engkau. Jadi aku tahu sifatnya. Tak mungkin dia menyakitiku. Mungkin aku nya saja yang terlalu ingin dimengerti lebih dalam lagi.” Nada jawabku terdengar lugas. Sedikit terselimut kesal.
“Cinta itu telah membuatmu terseret oleh berbagai tuna, Rosita? Kau laiknya tunarungu dan tunanetra. Bahkan kau benar-benar terjerat dalam perangkap tuna asmara. Sadar, Sita!” Baper pun menaikkan pacuan degup jantungnya. Tampaknya dia lebih kesal dibanding denganku.
“Terserah kau mau bilang apa, Baper. Yang jelas saat ini aku harus berusaha memahaminya lebih baik lagi. Jadi jangan berprasangka buruk terhadapnya!” kupalingkan wajah. Berjalan cepat menuju arah yang berlawanan dari Baper. Tak terasa pintu air mata ini terbuka sedikit demi sedikit. Beberapa bulirnya mulai bersatu padu membentuk sebuah sungai di pipi ini. Pipi yang akhir-akhir ini sering dilanda banjir.
Pertengkaran kecil itu sering terjadi. Aku dan sahabatku Baper jarang bertemu. Bahkan berkomunikasi sebentar pun tidak. Aku tahu bahwa Baper bersikap begitu karena dia khawatir terhadapku. Seperti sayap-sayap burung yang selalu menjaga keseimbangan saat terbang. Dialah sendi pada kedua sayapku Namun menurutku dia terlalu berlebihan mengkhawatirkanku. Dia terlalu baper. Maka ia pantas kupanggil Baper.
Keesokan paginya aku dikejutkan oleh beberapa pesan singkat. Salah satu pesan itu dikirim oleh seseorang yang telah lama singgah di pelabuhan hatiku. Pesan yang setiap hari dinantikan. Sebelum membukanya pun seringkali senyum-senyum sendiri. Walaupun tak selamanya isi pesan itu mengenakkan hati.
“Jangan kau hubungi aku lagi, Sita! Kau benar-benar harus melupakanku. Kuharap kau tak mengganggu hidupku lagi!” pesan itu menghentikan langkah merekahnya senyumanku. Remuk tak berdaya. Hati ini hancur berantakan. Mungkin sebelumnya telah sering menyakitiku. Namun pesan singkatnya itu membuat jantungku retak. Sehingga detaknya pun seperti guncang gesang gempa jalang yang menerjang.
Apa salahku. Sehingga membuatnya begitu marah. Apakah aku telah melukai hatinya? Tapi kapan? Berkomunikasi saja kita amatlah jarang. Di saat seperti ini aku mencoba mencari kesalahanku padanya. Lagi-lagi dan untuk yang kesekian kalinya. Aku selalu mencari kesalahanku padanya.
Menjadi stalker atas kesalahan sendiri itu lebih sulit. Aku tetap saja mencintainya. Mungkin benteng cinta ini seperti benteng Romawi. Kuat hingga berabad-abad. Sudah dua hari ini tak makan. Jika di rumah pasti di marah ayah atau ibu. Namun di sini, di kontrakan kecil ini. Siapa yang peduli terhadapku?
Tok tok tok. . . “Assalamualaikum, Sita?” suara yang mudah dikenali. Ya. Dia sahabatku. Selalu datang di saat yang tepat. Dan selalu kucampakkan kesetiaannya.
“Waalaikumsalam, Baper? Apa sekarang kau akan mengejekku lagi atas kebodohanku? Aku salah telah mencintainya. Dan aku salah telah memusuhimu karenanya.” Kesadaran perlahan menggerayahiku. Kata-kata yang keluar pun spontan kuucapkan. Sementara sepasang mataku yang sembab karena tangisan dua hari yang lalu kembali mengalir. Mungkin sudah tak sederas kemarin. Air mata ini telah terkuras. Sehingga yang tersisa hanya air mata bercampur darah lelah. Tak deras namun menyakitkan. Pedih perih merintih.
“Sudah. Cukuplah airmata mu menangis karenanya”
“Maafkan aku, Baper?” isak tangisku perlahan mendekatinya. Aku berusaha memeluknya. Karena selama ini dialah yang menjelma menjadi sandaranku. Sandaran paling nyaman saatku sedih. Walaupun sandarannya hanya sebatas ucapan dan kata-kata manis. Kata yang terurai seperti embun pagi. Sejuk dan nyaman.
“Eitsss... kita bukan muhrim, Sita. Jangan peluk aku. Jika kau butuh sandaran atau pelukan. Peluklah adikku. He he” seperti biasa dia mencoba mencairkan suasana dengan candaannya. Tiba-tiba seorang gadis kecil di depan pintu.
Tanpa sepatah kata pun gadis itu memelukku erat. Aku tak pernah bertemu dengan gadis yang ternyata adiknya Baper. Bahkan Baper tak pernah cerita padaku tentang adiknya.
“Aku jadi malu, Dek? Menangis di bahu mu. Siapa namamu?” dia melepaskan pelukanku. Hanya sungging senyum manis menggaris di bibirnya.
“Namanya Marfu’ah. Bisa dipanggil Fu’ah” Baper menjawabnya pertanyaanku pada adiknya.
“Sekolah di mana, Dek?”
“Di SMAN 3, Sita. Sekolahan yang berdekatan dengan Kantor Pos” Baper kali ini membuatku kesal. Dia selalu menjawab pertanyaan yang sebenarnya bukan untuknya.
“Kenapa kamu terus yang jawab? Berikan kesempatan adikmu menjawab!” sahutku kesal.
“Jika kau inginkan dia yang menjawab. Maka siapkan kertas dan pena” jawabnya tegas. Menimbulkan keanehan.
“Maksudmu?”
“Dia tak bisa bicara, Sita”
“Maaf. Aku tidak tahu?”
“Tak apa-apa. Karena aku belum memberi tahumu”
Setelah itu aku larut dalam cerita Baper yang membuatku terbaperkan. Dia menceritakan kronologis adiknya yang menjadi bisu. Bahkan sampai-sampai aku mulai melupakan masalahku. Ternyata masalahku hanyalah karena kebodohanku. Sedangkan gadis kecil ini? sangat berat masalahnya.
Aku mulai sadar bahwa cinta tak semestinya membuat kita tuna segalanya. Karena cinta sesungguhnya hanya ada dalam balutan rumah tangga. Ada jaminan surga dan jaminan kebahagiaan di dalamnya. Tidak seperti diriku sebelumnya. Yang mengharapkan cinta dari seseorang yang jauh di sana. Seseorang yang belum tentu mencintaiku. Bahkan dia yang sering membuatku mengalirkan sungai pada sepasang mata ini.
Mungkin ini cara Tuhan menyadarkanku. Bahwa selama ini aku terjebak dalam kabut-kabut putih dan pekat. Seolah fatamorgana kesucian. Namun yang kudapat hanyalah tangisan. Sudah berapa banyak orang lelah berteriak di telingaku dan membantuku berjalan dalam pekatnya kabut. Lagi-lagi hanya kembali dalam kabut yang sama. Bahkan tersisa satu orang saja yang tetap menjadi penerangku dalam kabut jalang ini. Dia lah yang biasa kupanggil Baper. Layaknya mentari yang menyingsing di ufuk timur. Melibas kabut hanya dengan sekejap saja. Ya. Lagi-lagi dia percaya akan kekuatan sabar. Sabar dalam menghadapiku. Dan perantara adiknya adalah ibarat waktu. Sehingga menyentuh hatiku. Itulah kenangan yang menjadi pondasiku untuk bangkit. Hidup lebih bermakna dari sedetik yang lalu.
Bersamaan dengan sapuan sinar mentari. Tersapu pula kenangan-kenangan haru bersama sirnanya kabut-kabut. Menjadi embun sejuk menempel di daun-daun dan rerumputan nan hijau. Aku bukan takut terhadap kabut-kabut itu. Namun aku takut tersesat di dalamnya.
***

Lihatlah! Kak Wahid yang selalu Tertawa. Bukannya cemberud seperti yag belakang tuhhh

For My Sister Anggita Listianti
Share:

0 komentar:

Post a Comment

GEMPITA, Wahid Najmun Al-Farisi (Musafir Ilmu dan Cinta). Powered by Blogger.

Text Widget

"Jadilah sebaik-baik manusia, dengan selalu berbuat baik tanpa takut tak dihargai, tanpa takut tak mendapat balasan. Karena berbuat baikmu hanya ikhlas kepada Tuhan dan atas dasar kemanusiaan. Bukan karena satu pemikiran, satu agama, satu pandangan. Namun hanya satu tujuan untuk berbuat kebaikan kepada sesama."

Reriak Jiwa

Wikipedia

Search results

Sample Text

Jadikan setiap yang anda lihat, dengar dan rasakan menjadi pelajran berharga dalam hidup. Guru terbaik sepanjang zaman adalah Pengalaman. Tak peduli apakah itu pengalaman gagal atau kesuksesan.

"Tulisan adalah nyawa kedua setelah kematian"

Cloud Label

Video (4)

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Followers

Total Pageviews

Powered By Blogger

Label


Religion

Religion

Blog List

Translate

Labels

Blog Archive

Blogger templates