Gemericik merinai
di suatu malam. Berirama tenang di atas genting. Atap yang sepanjang hari−lima
bulan yang lalu− selalu disetrika oleh mentari. Panasnya menjelma lidah api. Sehingga
genting-genting terlihat semakin kuat. Namun merasa rindu dengan sebaris hujan.
Kini debu-debu
yang tersapu oleh hujan menangis. Aromanya menguar mencari tempat bersandar. Ada
sebagian debu-debu yang pasrah diterpa. Berubah wujud menjadi tanah yang becek
di setiap jalanan. Ya. Jalan-jalan di desa kami sama sekali tak ada aspal. Yang
ada hanya tanah yang dibentuk mirip jalan. Yang terlihat halus ketika kemarau
tiba berselimutkan debu. Sedangkan jika di musim penghujan begini menjadi
umpatan hampir setiap orang karena beceknya.
“Kita semua
harus sabar dalam menghadapi setiap ujian yang Allah berikan. Karena ketika ujian
berlalu, maka bersinarlah cahaya terang. Yang membuat kita seperti hidup
kembali,” celoteh salah satu debu yang paling senior di antara mereka.
Sedangkan
debu-debu junior hanya mengangguk saksama mendengarkan. Namun ada salah satu
junior yang tersenyum sinis. Suatu kode yang mengatakan ketidaksetujuannya pada
nasehat yang senior berikan. Debu itu bernama Buju. Ia terlahir tanpa ayah dan
ibu. Kejadian itu seperti yang pamannya ceritakan. Dimana ketika ibunya
melahirkannya, tiba-tiba ayah dan ibunya beserta beberapa debu lainnya di
penjara pada sebuah wadah. Rupanya penjahat yang membawa debu-debu itu adalah
anak manusia. Makhluk tuhan paling sempurna dan paling egois di jagad raya ini.
Sehingga dengan seenaknya saja mempermainkan mahluk lemah lainnya. Salah
satunya adalah debu-debu yang juga adalah keluarganya.
“Kau kenapa,
Nak Buju?,” senior tadi mendekati Buju serta menepuk pundaknya.
“Aku boleh
berpendapat tidak, Tuan Senior?,” dengan tanpa basa-basi Buju dengan pandangan
tajam.
“Boleh.
Silahkan!,” Tuan Senior memberi isyarat untuk Buju.
“Menurut
pendapat saya, kita semua tak akan bertahan lama di dunia ini. Manusia akan
selalu bereksperimen. Sampai kita benar-benar tiada tempat lagi untuk hidup di
bumi. Mereka akan memperluas kota-kota. Sehingga jalan-jalan mereka segera
diaspal. Kemungkinan kita bertahan hidup hanya sepersekian persen. Jadi, saat
ini kita perlu perombakan sistem pendidikan kita. Agar kita tak hilang ditelan zaman,” namun
tiba-tiba Buju yang kuyup oleh hujan yang belum reda tersadar. Bahwa ia sedang
berada pada selebor sebuah mobil. Itu terdengar erangan mesin. Buju kini telah
terpisah dari rekan-rekannya. Kini ia harus menghadapi ujian sendiri bersama
debu yang tak dikenalnya. Mungkin azalnya akan segera berakhir ketika pemilik
mobil menyemprotnya dengan selang cuci. Bersama hujan yang semakin menderas. Buju
menangis sejadi-jadinya. Dia teringat pesan seniornya bahwa ujian bisa datang
tanpa permisi. Jadi, kita diwajibkan untuk selalu siap siaga dengan keimanan. Jangan
pernah meremehkan orang yang lebih berpengalaman. Menjelang akhir hayatnya.
Buju bertemu orang tuanya bersama beberapa seniornya. Melambaikan senyum pada
setiap titik yang menetes membasahai bumi.
0 komentar:
Post a Comment