
Aku cinta kamu, Diksi.
Puisi, biarlah aku menari di atas lautan asa. Biarkan kusulam diksi pada tiap-tiap hati yang merindu dalam rapal-rapal yang terus berkomat-kamit. Jadikanlah ia laksana sinar mentari. Sesekali ia siang, tanpa menghilangkan kelamnya malam. Agar temaram rembulan tersenyum.
Buih-Buih Asa
Oleh Wahid Nur Hidayat
Aku menikam segala halang rintang menghadang
Bersama kepak sayap yang kerap menyibak sejuk embun di pagi hari
Menjuntaikan segala yang tertanam pada lubih bernama hati
Menjumput asa dalam senandung doa di gulita
Menekuri segala yang tersurat, menelusuri segala yang tersirat
Yang kutemukan hanya bayangan seorang yang cerewet
Kepada Engkau sang Maha Cinta, sampaikanlah salam doa ku padanya
Semoga beliau mendapat Jannah bersama seorang yang kusebut Ayah...
Samudera, bergelombanglah dalam deru doa
Bibir pantai, berbuihlah mengucap dzikir yang mengelana
Bersama kepak sayap yang kerap menyibak sejuk embun di pagi hari
Menjuntaikan segala yang tertanam pada lubih bernama hati
Menjumput asa dalam senandung doa di gulita
Menekuri segala yang tersurat, menelusuri segala yang tersirat
Yang kutemukan hanya bayangan seorang yang cerewet
Kepada Engkau sang Maha Cinta, sampaikanlah salam doa ku padanya
Semoga beliau mendapat Jannah bersama seorang yang kusebut Ayah...
Samudera, bergelombanglah
Bibir pantai, berbuihlah mengucap dzikir yang mengelana
Siapakah dirimu? Kenapa begitu kaku mencintai sepasang permata dalam hidupmu? Bukankah ia yang selalu merawatmu sepanjang waktu, ketika itu yang bisa kau lakukan adalah menangis. Namun, mereka anggap rengekanmu sebagai syair lagu terindah dalam hidupnya. Pernahkah kau bertanya kepada mereka, "Ibu, Ayah, apakah kau pernah menyesal merawatku?" Mereka akan menjawab, "Bahkan letih pun sirna melihat kelucuanmu di waktu kecil, Nak."
Apa yang mereka harapkan dari kita? Mereka tidak berharap balasan apa-apa. Melihat kita bisa tersenyum, mendengar suara kita yang sehat, mendengar berita baik dari kita adalah sesuatu yang cukup bagi mereka. Sudahkah kita memohon maaf atas kesalahan kita di masa kecil? Jika belum, segera mohonlah kelapangan maafnya. Walaupun bisa tebak bahwa beliau telah memaafkan anaknya bahkan sebelum permintaan maaf terlayang.
Pernahkah kita mencuci kaki ayah dan ibu kita? Lalu menciumnya pada hari dimana jutaan orang berburu maaf? Jika belum, maka lakukanlah esok ketika hari raya tiba. Untuk apa? Untuk meraih doa-doa yang selalu mereka rapalkan setiap sujud mereka. Mereka akan lebih lapang dalam doa, maaf dan rindu yang membara. Jika sekarang kau rindu dengannya, maka peluklah mereka. Jika kau sedang tidak di sampingnya, maka bukalah kontak di HaPe kita yang bernama Ayah, Babeh, Ibu, Emak dan sebagainya. Bicaralah sejujurnya bahwa kau rindu dengannya.
#Musafir
Untuk Ibuku Yang Setiap Deru Nafasku Kurindukan
0 komentar:
Post a Comment