Setiap hari pasti kita bertemu dengan nasi putih. Karena
ia adalah makanan pokok yang berisi karbohidrat pengisi tenaga pada tubuh
manusia. Apa jadinya jika manusia sehari saja tidak bertemu dengan nasi? Bagi orang
kota mungkin bisa menggantinya dengan roti, keju, sereal atau makanan yang
mengandung karbohidrat. Wajar saja bahwa orang kota bisa saja dengan mudah
membelinya dengan gelimang harta. Namun bagi orang desa makan nasi adalah
makanan wajib. Bagaimana kalau orang desa bila suatu ketika mampu membeli roti?
Tentu sama saja belum makan. Kenapa??? Karena roti satu mobil truck pun akan
dianggap belum makan kalau belum tersuap nasi sedikitpun. Sama halnya dengan
saudara kita yang berada di daerah timur Indonesia yang terbiasa makan sagu. Mereka
tidak bisa makan nasi karena terbiasa makan sagu. Loh kok jadi bahas ini ya...
he he he Pangeran Somplak ini mah...
Penulis tinggal di desa yang mayoritas
penduduknya petani. Yaitu Desa Sidang Bandar Anom, Kecamatan Rawajitu Utara,
Kabupaten Mesuji, Lampung Indonesia. Mesuji merupakan salah satu Daerah Otonomi
Baru (DOB) di Provinsi Lampung, hasil dari pemekaran Kabupaten Tulang Bawang.
Mengingat wilayah Kabupaten Tulang Bawang saat itu sangat luas dan lokasi
Kabupaten Mesuji (saat itu masih berupa Kecamatan
Mesuji, wilayah Kabupaten Tulang Bawang) yang terlampau
jauh dari pusat pemerintahan di Menggala.
![]() |
Jambangan Siap Tanam Ghadu 2018 |
Sesuai dengan amanah
UU No.49 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Mesuji,
ditetapkan bahwa ibu kota Kabupaten Mesuji adalah kecamatan Mesuji,
berdasarkan hasil musyawarah tokoh-tokoh masyarakat ditetapkan bahwa ibukota
terletak tepatnya di Wiralaga Mulya. Nama Wiralaga Mulya diambil dari penggabungan dua kampung
diKecamatan
Mesuji yaitu Kampung Wiralaga dan Kampung Sidomulyo yang merupakan hasil musyawarah tokoh
masyarakat dan tetua Mesuji. Sedangkan Desa Sidang
Bandar Anom adalah desa perbatasan. Petani di daerah ini adalah petani tadah
hujan. Dimana tidak ada irigasi, sehingga seringkali hanya mampu tanam 1 kali
setiap satu tahun kalendernya. Hal ini menyebabkan sekitar tahun 2010 petani
mulai menanami sawahnya yang kurang subur dengan pohon kelapa sawit. Pada saat
itu atas kecemasan akibat harga padi ataupun beras yang tidak menutupi
kebutuhan. Karena hanya padi lah penghasilan utama warga. Salah satu kendala
murahnya harga padi pada saat itu adalah Jalan Lintas Rawajitu-Simpang Penawar
yang tidak tersentuh perbaikan secara signifikan. Jika pun ada perbaikan,
paling beberapa kilometer dan hanya bertahan dua atau tiga tahun saja. Karena kualitas
aspal yang memprihatinkan. Belum lagi bila hujan melanda, jadilah jalan
selembut bubur. Jika kemarau tiba debu bagaikan badai yang menggulung di padang
pasir. (Jika anda melewatinya dengan jaket hitam, niscaya menjadi warna debu)
Setelah penghasilan
sawit mulai menjadi penghasilan baru disamping menggarap sawah. Petani mulai
merasakan hidup tak sepahit sebelumnya. Ini terlihat dari yang tadinya hanya
mampu menyekolahkan anaknya hingga SD-SMP. Kini mulai muncul perkembangan
menyekolahkan anaknya hingga jenjang SMK/SMA di luar daerah sambil
dipesantrenkan. Bahkan bila kita telisik lebih dalam masyarakat mulai membiayai
anaknya kuliah. Selain karena mulai adanya perubahan setelah pemekaran
kabupaten. Juga kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan untuk masa
mendatang. Kini para petani pun bisa menanam padi dua kali dalam setiap tahun
kalender. Hal ini karena hujan yang stabil dan kekompakan petani apabila tanam
ghadu. Semoga hujan selalu tetap stabil agar petani dapat menanam dua kali
setiap tahunnya.
Walaupun saya tinggal
di perbatasan TuBa-Mesuji, saya turut prihatin dengan jalan yang saya lalui ketika
berangkat menimba ilmu ke kota. Rawajitu Utara walaupun bukan lagi bagian
Tulang Bawang seperti Rawajitu Timur, Rawajitu Selatan maupun Rawa Pitu, tetap
saja jalan utama itu yang saya dan warga lainnya lalui hingga ke Simpang
Penawar. Namun baiknya di Kabupaten TuBa sudah menikmati listrik PLN. Sedangkan
Desa Perbatasan seperti Sidang Bandar Anom masih saja jauh dari kata penerangan.
Hanya bermodalkan Diesel Iuran kelompok atau genset untuk hidup lampu dari
pukul 6 sore hingga jam 12 malam. Selebihnya hanya kegelapan, katak yang
bernyanyi bila banjir atau jangkrik yang berteriak yang menemani. Seperti tiada
peradaban.
Kalau saya dan warga
masyarakat Rawajitu (baik itu Rawajitu bagian TuBa atau Mesuji) inginnya jalan
segera dicor saja. Karena aspal sepertinya tidak berjodoh dengan kultur tanah
yang mbelenyek seperti ini. Atau bila
perlu dibuat pula rel kereta api he he. Karena dulu saat saya masih sekolah SMK
di Unit 2 Tulang Bawang seringkali menaiki atap Bus saat pulang ke kampung
halaman. Alasannya karena sempit di dalam dan lebih susah bergerak karena jalan
yang membuat mobil bergoyang sekalipun tak bermusik. Untuk PLN ataupun Pejabat
TuBa dan Mesuji segerakan pula listrik masuk secara resmi di desa saya atau
minimal kecamatan Rawajitu Utara. Karena kalau kami menunggu dari Kabupaten
Mesuji juga bakalan lama banget, soalnya kita diperbatasan je he he he...
Tolong ya... Listrik dan Jalan.
-Pangeran
Somplak-
0 komentar:
Post a Comment