Gerakan Menuju Pos Cita-cita "Cerpen, Puisi, Traveller, Motivasi dan Gaya Hidup menjadi tautan asa dalam sebuah Selasar Nektar Kata"

Semesta

Wednesday, February 7, 2018

Ketika Miqdad Datang

Episode 1 (Hamparan Sawah)
“Paman, ia begitu mempesona. Siapa dia?” celetuk seorang keponakan laki-laki di dekatnya.
“Oh itu?” sambil menjulurkan telunjuknya ke arah gadis berambut ikal. Berwarna hitam namun bercampur kemerah-merahan. Dia berjalan pada sebuah galengan sawah. Memakai pakaian adat sedikit loggar namun dengan warna yang mulai memudar. Dia sedikit mirip dengan orang-orangan sawah yang baru saja aku buat. Lalu kupasang di tengah-tengah sawah paman. “Itu anaknya pak lurah le, namanya Dwi Nurfalah kenapa? Kamu menyukainya?” paman tertawa kecil meledekku. Ia menggoyangkan capil dari anyaman bambu yang kupakai. Seraya berkata ”hati-hati kalau kamu naksir dengannya, dia anak orang kaya le. Terlebih sekarang ayahnya seorang lurah.”
“Ahh... paman ada-ada saja. Aku hanya bertanya saja, tak bermaksud lain. Tidak mungkin Miqdad menyukai gadis sepertinya.” Sembari melihat ke atas langit. Lelaki bernama lengkap Miqdad al-Faruq. Pamannya sering memanggilnya dengan le atau tole. Itu sebuah panggilan dalam bahasa Jawa.
Matahari siang ini teriknya menghujam tubuhku dan paman. Laksana lidah api yang menggulung-gulung membakar kulitku. Walau telah terlapisi kain basahan ini, tapi tetap saja menyengat. Kulihat matahari berputar berwarna biru pekat. Ini yang aku suka “Ha’ chinnnn Alhamdulillah”. Aku bersin berkali-kali.
“Ya arhamukallah” jawabnya.
“Yahdiukumullah” timpalku.
Kupandangi secara seksama bayang-bayang tubuhku. Hitam merayap di belakangku. Ini menunjukkan bahwa hari telah memasuki waktu dzuhur. Karena matahari telah tergelincir dari titik kulminasinya. Kulihat jam digital yang terpampang di hape cegceng po ku. Menunujukkan pukul 12:40 WIB. Di sawah ini sangat sulit mendengarkan adzan. Karena sangat jauh dari pemukiman. Jika ditempuh dengan sepeda motor saja butuh waktu lima belas menit. Jadi wajar kalau kita terlewat untuk shalat tepat waktu.
“Man, paman! Ayo shalat dahulu?” ajakku sambil beranjak menuju galengan. Kuletakkan setekaman rumput yang baru saja aku cabut. Begitu pula dengan paman.
“Sudah masuk waktu dzuhur toh le?” paman melihat mentari. Namun keningnya mengernyit lalu matanya ia sipitkan. Tak kuasa menahan sinar panas itu.
Segera kami mengambil air wudlu di sungai dekat gubuk paman. Di sana airnya jernih dan segar. Lalu dengan cepat kami menuju gubuk. Tak tahan bila berlama-lama di bawah terik fajar tanpa penutup badan. Kami sahalat dengan sarung bersih dan baju khusus shalat yang telah dipersiapkan sebelumnya.
“Arah kiblatnya kemana paman? silahkan paman menjadi imamnya?” telapak tangan kiri kutempelkan pada sikut tangan kananku. Itu sebuah isyarat bahwa aku mempersilahkannya. Karena baru pertama kali ini aku liburan ke sini. Desa Sidang Bandar Anom. Dahulu desa ini termasuk dari kabupaten Tulang Bawang. Namun karena pemekaran, desa ini ikut kecamatan Rawa Jitu Utara yang berkabupaten Mesuji.
“Kamu saja yang imam le? Yang lebih bagus bacaannya dan lebih banyak hafalannya ketimbang paman.” paman mendorongku ke depan utnuk menjadi imam. “Kalau tidak salah ke arah sini le.” Ia menunjuk arah tergelincirnya matahari. Mungkin saja itu adalah arah barat tepatnya. Tapi arah kiblat kan sedikit menyerong ke arah utara? Batinku mengingatkan. Aku ragu-ragu. Lalu kulihat jam menunjukkan pukul 12:50.
Segera kubuka buku berjudul Metode Mengukur Arah Kiblat dan Jadwal Rashdul Kiblah Lampung. Buku itu karya Drs. A. Jamil, M. Sy. Dosen Ilmu Falak satu dan dua ku ketika kuliah strata satu di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro lima tahun yang lalu. Sekarang telah alih status menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro. Nama Jurai Siwo dihilangkan. Mungkin karena itu identik dengan kabupaten Lampung Tengah. Kubuka tepat halaman 77. Tanggal dua puluh lima Maret pukul 12:55 WIB untuk melihat dengan jelas menggunakan matahari. Mana arah kiblat sebenarnya di daerah Rawa Jitu Utara ini.
Kupandangi bayang-bayang gubuk ini menyerong ke arah utara. Walaupun belum tepat, karena kurang tiga menit lagi. Akhirnya pukul 12:55 WIB tepat aku melihat bayang-bayang benda yang yakin dari sebelumnya. Paman pun terlihat bingung dan hanya bengong menunggu imamnya tak segera takbiratul ihram. Ada raut wajah menanti dalam keletihan yang menderanya. Perutnya mulai terdengar lirih bertabuh. Tapi ia sembunyikan rasa lapar itu. Walau waktu dzuhur masih lama habisnya. Paman akan tetap berusaha untuk shalat lebih awal tanpa menunda-nundanya.
Akhirnya aku memulai shalat dzuhur itu. Dan kami pun larut dalam sujud yang haru. Semilir angin meniup sedikit kencang. Sarung kotak-kotak paman berkibar. Namun dengan sigap ia usahakan kakinya sedikit rapat hingga menjepit sarung supaya tak terbang. Begitu pula denganku. Rasa panas yang sedari tadi semromong mulai melebur menjadi semilir yang menjenakkan. Kami makin hanyut dalam munajat sembah sebagai seorang hamba-Nya. Tenggelam dalam dzikir dan lantunan ayat suci Al-Qur’an yang ku hafal.
Seusai shalat kami membuka bekal untuk makan siang. Perut ini mulai bertabuh kencang. Lambung telah perotes akan keterlambatan suplai pengiriman makanan. Segera pula kami menikmati makanan yang dibawa.
“Paman sudah membaca Basmallah?” tanyaku pada paman. Mulutnya tampak penuh dengan makanan.
Segera ia mengunyahnya lalu menelannya. “Bagaiamana do’anya le? Paman lupa. Dulu ndak tahu sekarang lupa he he” meringis melumat wajahku.
“Bismillahi Al-awwalu Wa Akhiraahu” paman pun mengikuti ucapanku.
Kualihkan pandanganku jauh ke arah depan. Di sana masih terlihat gadis yang sebelum shalat tadi ia tanyakan kepada pamannya.   Ya. Kuingat namanya adalah Dwi Nurfalah. Sedang apa dia sedari tadi di sini? Tapi kali ini ia tak sendirian. Tampak terlihat dua orang laki-laki di sampingnya. Yang satu berpakaian seperti pakaian lurah. Apakah ayahnya atau bukan aku tak tahu. Sedangkan yang satu terlihat memakai jeans ketat. Itu salah satu celana yang paling dibenci Miqdad. Sempit, susah dipakai dan susah melepasnya. Dan yang paling parah adalah susah bila ingin buang air kecil. Berpakaian lebih modis. Tapi sangat aneh. Diterik matahari begini, di lokasi persawahan begini, kenapa memakai pakaian seperti mau konser saja. Batinku cekakakan geli.
***

Episode 2 (Rinai Pertemuan di Gubuk Sawah)
Setelah makan aku dan paman beristirahat sejenak. Memejamkan sepasang mata di bawah gubuk sederhana ini. Bagiku tidur di tengah sawah adalah suatu hal yang kuinginkan sejak lama. Dan kini aku merasakan bagaimana nikmatnya menjadi seorang petani. Ya di sini aku merasakan pahit manisnya menjadi petani. Ketika keringat bercucuran bak badai. Maka segera tersapu oleh desau semilir angin segar. Tak ada asap kendaraan maupun efek rumah kaca. Sehingga hampir tak ada polusi di sini. Hamparan sawah menari gemulai. Langit membiru dalam seringai senyum. Sejenak terasa gelap. Aku terlelap.
Aku seperti mendengar percakapan. Suara itu terdengar parau kadang lembut menyisir bulu romaku. Dingin mulai memeluk dan mencekam. Hatiku berdesir secara tak sadar. Jantungku berdetak memompa tak karuan. Hal seperti ini hanya akan terjadi apabila aku berdiri di hadapan wanita. Ya wanita. Mereka selalu membuatku lemah tak berdaya. Baik itu senyumnya, ucapannya, tangisannya dan semua tentang mereka. Dimulai dari nenek, ibu, sahabat, saudara maupun teman-teman wanitaku. Aku tak pernah tahu yang namanya cinta. Karena sampai saat ini aku tetap masih sendiri. Karena tak bisa berlama-lama bila di dekat wanita. Tapi untuk ibu dan saudara hingga sahabat aku betah bersama mereka.
Seperti ada yang menyentuhku? Siapa dia? Tak menyentuh dengan seuntai tangan maupun sepasang tangan. Namun sentuhan itu terasa hangat dengan punggungnya. Tapi punggungnya terasa semakin dingin mencekam. Membuat jantungku semakin menggelegar. Dingin itu bukan menusuk kulitku saja. Melainkan menusuk hingga relung hati ini. Setelah itu mulai terdengar gemericik hujan. Suara dentaman bersambut dengan cahaya kilap seperti cahaya foto.
Duarrrrrr drrrrrrrrrrrrrrrrr. Aku terperanjat dan bangkit dari tempat dimana aku terlelap. Terbangun bukan karena guntur menggelegar. Namun bangun karena mendengar orang selain aku yang berteriak kaget.
“Kok sudah bangun?” tanya seorang lelaki berkumis tebal. Berbadan lumayan kekar. Memakai pakaian seperti pegawai desa.
Le... ini Pak Lurah. Dan yang dua ini anak-anaknya beliau.” Sahut pamanku.
Kupandangi dua orang anak Pak Lurah. Yang satu terlihat modis dengan gaya anak zaman sekarang. Gadis di sampingnya lebih sederhana. Ia mengenakan pakaian basahan yang ukurannya terlalu besar. Tampilan yang sangat natural. Namun sayang rambutnya yang ikal memanjang dibiarkan terurai. Aku hanya berandai jika saja ia memakai hijab atau minimal kerudung dahulu. Pasti semakin cantik luar dalam. Sekitar setengah menit diam memandangnya.
“Astaghfirullah” kupalingkan wajahku.
Terjangan angin semakin kencang. Rumpun padi yang sebelumnya menari-nari riang gemulai. Kini tariannya cepat dan tak terarah. Hingga menyadarkanku. Jadi selama ini aku terlelap di gubuk ini. Kenapa paman tak membangunkanku? Padahal ada Pak Lurah yang numpang ngiyup. Aku juga kenapa tak mendengar suara hujan yang lebat ini? Teringat akan ucapan ibu. Bahwa hujan sederas atau selebat apapun tak akan terbangun. Bahkan suara guntur pun tak bisa membangunkan. Hanya hati yang tenang dan keinginan bangun dariku saja yang bisa menggugahku. Ahh.. parahnya diriku ini.
“Sejak kapan Pak Lurah ngiyup?” pertanyaan itu kulemparkan pada pria berkumis tebal di hadapanku.
“Sejak hujan turun dengan lebat tadi mas, maaf telah mengganggu tidurmu” jawab Pak Lurah.
“Suara guntur saja tak membuatnya terbangun. Apalagi suara kita. Tidak mungkin kita yang membangunkan” Celetuk gadis ayu di samping Pak Lurah. Seringai senyumnya menggaris syhadu dengan malu-malu.
Aku tersipu malu. Terdiam membisu. Bukan karena lemah gemulai. Namun karena aku memiliki jiwa malu yang luar biasa bila di dekat wanita. Terlebih ia adalah wanita yang tak pernah kujumpai.
“Suara guntur bukan tak bisa membangunkannya. Melainkan suaranya tak berani lebih keras. Karena kalah merdu dengan suara dengkuran le Miqdad. He he” paman bergumam pada gadis di dekatnya itu. Paman sengaja mencantumkan namaku dalam ungkapannya.
“Jadi namanya Miqdad? Perkenalkan nama saya Falah.” Sejurus kemudian gadis itu menjulurkan tangannya ke depan. Isyarat perkenalan itu masih saja langeng hingga kini. Dan kalau saja dia seorang laki-laki. Maka dengan segera aku menyambut perkenalan itu dengan berjabat tangan. Sayangnya di seorang perempuan yang aku tak halal menyentuhnya.
Semua pasang mata bersiap menusukku dengan panah mereka. Busur itu telah di tarik. Aku dihadapkan antara iya atau tidak. Kalau aku mengacuhkan tangan itu alangkah sombongnya diriku. Mereka pasti menganggap aku sok suci. Jika aku terima maka berdosalah aku telah menyentuh seseorang yang bukan muhrim denganku.
Kalau saja dia bilang dari awal mau berkenalan denganku. Maka aku bersiap-siap untuk melumuri tanganku dengan tanah. Supaya ada alasan untuk tak menjabatnya. Namun ia serta merta langsung menjulurkan tangannya. Tangan yang terlihat berkulit sawo matang itu halus. Tiba-tiba terbayang guratan api menyala pada tangan itu.
“Iya nama saya Miqdad” kedua telapak tanganku beradu. “Maaf tak bisa menjabat tanganmu. Telapak tangan ini sedang sakit. Tampaknya ini awal mula sakit kapalan” kusunggingkan senyum pelipur kecewa untuknya.
“Ohh iya. Tidak apa-apa” ia tarik kembali tangannya dengan sedikit kecewa. Namun kulihat dia memahami maksudku. Walaupun sebenarnya aku sedikit berbohong.
“Biasanya pegangan sehari-hari pena dan laptop. Liburan ke tempat paman malah pegang sabit, cangkul dan lain sebagainya. Wajar saja kalau kapalan.” Paman sambil mengepulkan asap rokok lintingannya. Asapnya lebih tebal dan lebih sesak bila terhirup daripada rokok pabrikan.
Aku, paman, Pak Lurah dan gadis bernama Falah semakin hangat bercerita dalam. Gemericik yang semakin reda. Sementara pria dengan pakaian modis itu hanya diam membisu. Dia seperti tak ingin berbaur dengan kami. Wajahnya terlihat ingin berbaur dengan kami. Namun seolah ada yang mengganjal hatinya. Apakah dia membenciku? Tapi kita belum pernah bertemu sebelumnya. Entahlah, aku sendiri tak berani bertanya dengan walau sekedar basa-basi dengannya. Tampaknya apatis telah menyusup hatinya. Maybe.
***

Episode 3 (Pangeran Senyap)
“Bukankah dia anakmu juga pak? Kenapa aku tak pernah melihatnya berbicara?” kata-kata itu perlahan merambat hingga tertuju kepada Pak Lurah. Sedangkan bagi pria yang sedari tadi diam hanya seperti ungkapan penasaran orang-orang yang baru mengenalnya. Sorot matanya isyarat sedikit perasaan tak suka.
“Oh.. ini anak sulung saya pak” sambil memegangi pundak anak bujangnya. “Bapak tak akan pernah melihatnya bicara. Karena dia memang benar-benar tak bisa bicara setelah kejadian itu.” Sambung Pak Lurah.
“Maaf, anak bapak bisu?”
“Iya” semburat sedih menggelayut bening di kelopak mata Pak Lurah.
“Siapa nama anak bapak ini? dan kenapa dengan perkataan bapak setelah kejadian itu?” tanya paman lagi.
“Namanya Rio. Dia harus kehilangan pita suaranya demi menolongku. Dia dicekik oleh musuh besar dalam hidupku. Ceritanya panjang pak.” sepasang mata Pak Lurah bening berkaca-kaca.
“Apakah sudah tak ada harapan untuk sembuh? Dengan operasinya misalnya?” tanyaku mengarah kepada Mas Rio.
“Biarlah itu menjadi sebuah kesaksian. Sebuah alasan untuk aku kobarkan dendam pada musuhku itu! Aku akan balas dendam” ketus Pak Lurah dengan air muka memerah.
Sementara Falah hanya terdiam. Sering kulihat ia bergerak ragu. Sehingga membuatnya semakin terlihat salah tingkah. Sedang Mas Rio terkungkam seribu bahasa. Aku sama sekali tak menemukan binar sahabat di wajahnya. Seolah dia membenci dunia ini. termasuk diriku. Mungkin karena kobaran dendam yang membara di hatinya. Aku tak bisa menyalahkan mereka yang punya musuh. Karena punya satu musuh saja hidup tak tenang.
Aku jadi teringat bahwa tak dapat dipungkiri bahwa ayahku juga dahulu mempunyai musuh. Namun kini telah ayah anggap seolah tiada lagi. Permusuhan ayah juga melibatkanku seperti halnya Mas Rio. Bahkan rusuk kiriku hingga patah atas perkelahian itu. Kejadian itu saat aku masih duduk di bangku abu-abu putih. Permasalahannya saat itu adalah berawal dari sengketa tanah. Namun karena perselisihan, maka saat malam itu terjadilah perkelahian yang tak dapat dihindarkan. Mereka satu pasukan datang mengepung rumahku. Jika hanya dengan senjata tajam khususnya aku akan siap melawannya. Namun senjata api telah menembus jantung ibuku. Itulah awal mula permusuhan besar itu. Namun sebenarnya ayah menyuruhku untuk mengakhiri permusuhan itu. Karena akan banyak korban yang berjatuhan lagi. Karena menang pun hanya akan menjadi arang. Sedangkan kalah akan menjadi abu. Semuanya mengalami kerugian besar. Pada saat itu aku bersikukuh untuk tetap mengibarkan bendera perang. Namun lambat laun aku mulai sadar bahwa harus mengakhiri permusuhan itu.
Akhirnya aku menemukan hidup berwarna di pesantren. Hingga saat ini ketenangan yang aku dapatkan. Sudah tak berpikir dendam lagi siapa yang telah menembak ibuku. Walaupun telah jelas bahwa anak buah musuh ayahku lah yang menembaknya. Namun hingga kini mereka tak jua minta maaf. Bahkan pengakuan mereka saat itu tak membawa anak buah bersenjata api. Ia mengaku hanya tangan kosong ke sana. Namun kenyataan berbicara lain. Ibuku telah tiada.
“Rio ini anak yang cerdas. Walaupun ia sekarang bisu. Namun tetap memberikan pengaruh besar dalam hidupku. Strateginya, pemikirannya dan cara pandangnya membuuatku bangga. Dia bagaikan pahlawan senyapku. Tak banyak bicara tapi berefek luar biasa. Itulah dia.” Suara Pak Lurah membangunkan lamunanku. Sedangkan Mas Rio menyunggingkan selaksa senyum kecil bangga.
“Kalau saya orangnya suka damai pak? Permusuhan itu merugikan semua pihak pak. Kalau saya boleh menyarankan, maka akhirilah permusuhan itu. Sebelum datang masalah baru yang lebih rumit dari sebelumnya” dengan nada bersahabat dari paman. suasana tegang sedikit meredam.
“Iya pak, terima kasih atas sarannya. Saya juga ingin mengakhiri permusuhan itu.” Jawab Pak Lurah tegas.
Tak terasa hujan mulai mereda. Hamparan padi kini berlinang air hujan. Sore itu kami pulang ke rumah masing-masing. Keriyip mentari sedikit menghangatkan tubuh di perjalanan pulang. Sejurus kemudian terlihat warna-warni indah di cakrawala. Ya itu pembiasan cahaya. Pelangi itu muncul cerah bersama sejuk semringah harapan perdamaian.  Rumpun padi melambai ceria menyambut senja. Sedangkan burung-burung berbaris pulang ke rumahnya. Panorama itu sedikit menyibak dendam yang bercokol. Apalagi diriku. Yang jarang sekali melihat gugusan pelangi membentuk setengah lingkaran besar dari ujung utara hingga ujung selatan.
*****

Episode 4 (Lima Belas Menit itu)
Keriyip mentari pagi mengintip di balik bukit. Namun sinarnya mulai berpendar memicing kilau di ufuk timur. Tampaknya hari ini akan terang-benerang dengan kerlip matanya. Ekor surya itu telah siap mengepakkan sayapnya menuju senja. Begitu seterusnya. Dia pada keistiqamahannya menyibak kegelapan dunia ini. Namun sehebat-hebatnya ia bercahaya, dia juga mempunyai suatu titik dimana diterka masalah. Bahkan tak dapat bersembunyi dari masalah itu. Lihatlah ketika gerhana datang. Bukan hanya dunia yang kita huni saja yang menuai kelam. Tapi tubuhnya juga pun dalam kelegaman yang mendalam. Aku sangat menghargai jasanya kepada bumi ini. Dengan sinar dan panasnya. Termasuk mengeringkan milyaran helai pakaian.
Sembari memeras dan menjemur pakaian aku memandang. Bernyanyi ria mendendangkan lagu. “Kun Anta”. Namun yang paling sering diplay adalah semua album Bang Ebiet G. Ade.
Kulihat ada sesuatu yang menonjol pada saku bajuku. Ahh... aku langsung berasumsi bahwa itu sampah. Karena tak jarang aku mengantongi bungkus permen atau snack bila jauh dari kotak sampah. Mungkin itu juga sampah. Kugerayahi lalu kuambil seraya kubuang. Kejadian itu begitu cepat.
Astaghfirullah... aduh...aduhh” tampaknya itu suara paman.
Ternyata benar. Sampah yang kulemparkan tadi mengenai jidat paman. Aku berpura-pura saja tak bersalah. Walaupun secara rasional tak ada orang lain di situ selain aku dan paman. paman mengambil sampah itu dan seperti mengejanya “D-W-I N-U-R”. Segera dengan sigap aku merebutnya.
“Maaf paman? tadi aku yang melemparnya. Niatnya aku lempar ke kotak sampah itu. Ehh malah terkena paman. he he...” sedangkan sampah itu aku kantongi di saku celanaku.
“Lain kali hati-hati kalau melempar sesuatu. Jangan asal-asalan! Bisa-bisa kamu menyesal le?” kata-kata itu seperti sebuah nasehat di semburat sirna embun itu.
“Injeh Paman?” sahutku.
Kulihat paman perlahan meninggalkanku ke arah depan rumah. Bayangannya mulai hilang. Dia memang benar-benar telah sirna dari pandanganku. Dengan penasaran kubuka lipatan kertas itu. Tertulis nama Dwi Nurfalah. Aku sontak teringat gadis cantik yang berjalan di galengan sawah. Lalu ia berteduh dari lebatnya hujan di gubuk pamanku. Bila dilihat dari dekat, pikiranku jauh mengembara bersama bayangan manisnya. Wajahnya sering terbersit dan selalu hadir dalam kanvas anganku. Ahh imajinasiku sangat kreatif dalam masalah ini. tak bisa sedikit pun berlindung dari gelembung-gelembung cinta. Apakah aku mulai menyukainya? Mungkin hanya sesaat. Biarlah aku sembunyikan cinta ini. Aku siap atas hembusan angin kegetiran. Bahkan bila pun aku terduduk dalam singgasana hati yang berapi membara.
Kubuka perlahan lipatan itu. Ada beberapa angka berbaris di sana. Melambaikan tangan manisnya. Ya. Itu nomor HaPe, Pin BBM, nomor WA dan alamat rumah lengkap. Serta tertulis kata berpetik di bawahnya “Aku adalah aliran sungai, sedangkan engkau adalah sampan. Ke muara atau ke hulu engkau?” aku tahu apa maksud dari gadis bernama Falah itu. Tak terasa degup jantungku menggelegak. Aroma cinta pun mulai deras mengalir tak terbendung. Buih-buih bertebaran dalam kesukariaannya. Kuingat lagi senyuman yang teduh menggaris dibibirnya. Cipratan embun sejuk dan tenang. Tergambar jelas bagaimana ia bertutur kata. Pemalu. Anggun. Apakah dia menicintaiku?
“Astaghfirullahal ‘adziim” kuusap keningku. Tempo lalu aku berjanji pada diri sendiri untuk tak mencintai seorang wanita. Karena ia ibarat tumpahan tinta dalam kanvas hati. Akan melebar bersama getar-getar dan deru bisikan setan. Wanita yang kuanggap pemalu, anggun dengan kecantikannya itu berani memberiku cara untuk menghubunginya.
***
Agendaku hari ini adalah mensurvei beberapa perkebunan kelapa sawit milik ayahku. Ya. Ayahku memiliki sawah di sini, pamanlah yang mengurusnya. Mungkin setelah ashar aku berangkat sendiri. Karena paman harus menyelesaikan urusan lain.
Kuperiksa perkebunan sawit puluhan hektare itu dengan kilat. Tak lupa kusambangi suatu titik dimana ada pertambangan di situ. Pertambangan emas murni yang hanya ayah, paman dan aku saja yang tahu. Kulihat semuanya aman dalam kode rahasia yang super lengkap itu.
Di perjalanan pulang aku dihadang oleh kawanan orang yang tak kukenal. Mereka semua berbadan besar. Andaikan mereka ingin merampokku. Apa yang akan mereka dapat? Atau mereka ingin membunuhku? Sebelum itu terjadi akan aku buat mereka babak belur dengan silat yang kumiliki. Benar. Ternyata mereka berempat berwajah sinis dan garang kepadaku. Berdiri diantara dua mobil Jeep hitam.
Aku turun dari tungganganku. Yamaha Vixion. Otot-ototku mulai mengerang siap berperang. Kupasang wajah garang pula kepada mereka. Namun percuma saja. Kata ibu wajahku selalu manis dalam keadaan apapun. Termasuk saat ini. Tapi tak ada satu pun keluargaku yang meremehkan kemampuan beladiri yang kumiliki.
Langkahku terhenti sejenak. Kulihat seseorang turun dari salah satu mobil itu. Sepatu berwarna merah nan tinggi menapak tanah. Terlihat mempesona gaun merah yang dikenakannya. Falah. Rambut gadis itu terurai oleh sapuan angin senja. Kacamata bening membuatnya semakin anggun. Namun itu yang membuatku segera menundukkan pandangan. Dia berjalan mendekatiku.
“Maukah kau berkencan denganku malam ini?” suara lembut itu menggetarkan jiwaku.
“Maaf. Aku tak bisa. Malam nanti ada acara.” Jawabku tenang. Karena benar nanti malam ada acara. Yaitu persiapan keberangkatan pengiriman barang tambang.
“Sore ini?” kali ini wajahnya ia dekatkan mataku yang tertunduk. Pandangannya menabrak keras bola mataku. Yap. Aku teramat lemah di depan wanita. Bahkan jika aku di suruh memilih antara menghadapi puluhan orang bertarung dan menghadapi satu wanita. Maka aku pilih menghadapi puluhan orang saja.
“Aku juga tak bisa. Karena dua puluh menit lagi aku harus beribadah. Maaf?” sahutku singkat.
“Oke aku hanya perlu lima belas menit saja. Motormu biar anak buahku yang membawa. Sedangkan engkau naik mobil bersamaku. Bagaiamana? Tak ada alasan lain?” kali ini dia membuatku terdiam. Aku menganggukkan kepala. Aku tak bisa beralasan lagi. Benar. Aku sangat lemah di depan wanita. Lima belas menit yang lama bagiku.
***
Episode 5 (Linang Senja Itu)
Deru mobil meraung. Gesit secepat kilat. Falah fokus pada gagang setirnya. Sedikit pun tak menolehkan pandangannya walau sejenak. Sedangkan aku hanya terdiam memandangi rambutnya yang terurai. Tiga menit berlalu. Sampai pada rumah makan minimalis. Rumah makan yang paling terkenal cita rasanya di desa ini.
Falah membukakan pintu. Dia menjulurkan tangannya. Aku hanya terdiam dan mencoba beranjak keluar. Saat aku menutup pintu mobil tiba-tiba dengan cepat dia meraih tanganku.
“Waktu kita tak banyak! Jangan kau ulur-ulur!” dia benar-benar menggandeng tanganku. Aku pun harus mengikuti langkah cepatnya.
Bahkan aku tak bisa melepaskan gandengan itu. Keadaan seperti membuatku malu. Terlebih di depan umum.
Akhirnya tangan itu terlepas. Aku duduk di sebuah kursi saling berhadapan dengannya. Di atas meja telah terhidang beberapa makanan. Apakah aku dan Falah salah tempat duduk? Mungkin ini pesanan orang lain.
“Aku tahu kok kalau kau suka dengan pecel yang pedas dan tak suka dengan yang berbau es atau jus” sungging senyumnya tetap manis seperti pertama kali kulihat senyumya. Walau aku merasakan ada sesuatu tak beres dengan sikapnya. Kadang malu dan sedikit lebih kasar. Entahlah, mungkin dia terlalu disiplin. Dulunya bisa jadi anak Paskibra.
“Bolehkah aku meminta alamat rumahmu?” pertanyaan itu membuatnya menaikkan alisnya.
“Alamat asli atau yang di sini?” jawabnya sambil mengunyah sebongkah lontong.
“Jadi, kau bukan orang asli daerah ini?” tanyaku keheranan.
“Bukan”
Aku menganggukkan kepala. Namun dalam sejuta tanda tanya yang besar. Bagaimana bisa? Orang tuanya adalah seorang kepala desa di sini. Dia tinggal dimana? Bintik penasaran itu mulai menggelembung.
“Maukah kau menjadi kekasihku? Aku sangat mencintaimu, Miqdad?” tatapan matanya menusuk tajam retinaku. Sedikit pun tak bergeming. Kulihat sepasang matanya bening teduh cemerlang. Seperti fajar menyibak kabut jalang yang melintang. Aku tak kuasa bila dipandangi seseorang. Terlebih seorang wanita. Itu membuat badanku bergemetaran dalam dentam yang tak karuan.
Aku harus menjawabnya tegas. Bahwa aku sudah tak mau lagi menjalin hubungan seperti itu lagi. Kalau pun dia menawarkan untuk menikahinya. Maka segera aku pikirkan matang-matang. Namun bila pacaran tak ada yang perlu dipikirkan. Karena jawabanku adalah tidak.
“Maaf, jika menjadi kekasihmu aku tak bisa” jawaban ini sering terucap dari sepasang bibirku.
Tiba-tiba Falah beranjak pergi tanpa sepatah kata pun. Pergi begitu cepat hilang dari pandanganku. Aku tahu bahwa ia sedang menyembunyikan air matanya. Sangat paham dengan kekecewaannya padaku. Karena dia bukan satu-satunya wanita yang menginginkan aku menjadi kekasihnya. Melainkan sudah ada yang lebih dulu mendahuluinya. Dengan nasib yang sama seperti dirinya saat ini. Kadang aku sendiri sedih dan tak tega bila melihat seorang wanita menangis. Namun apalah daya. Demi kebaikanku dan kebaikannya. Semoga saja ia akan paham maksudku.
Aku tinggalkan uang di meja berbentuk persegi ini. Hendak pergi ke masjid terdekat dari sini. Kulihat di meja itu ada selarik kalimat “Kau akan menyesal!”. Apa maksudnya? Dia mengancamku karena penolakan tadi? Entahlah. Aku harus segera ke masjid supaya tak terlambat untuk berjama’ah.
“Maaf, pak? makanan di meja ini telah dibayar. Jadi, uang bapak silahkan dibawa kembali” salah satu pelayan pria mengingatkanku.
“Ohh, iya terima kasih” jawabku sambil beringsut menuju tungganganku yang di parkir oleh anak buah Falah tadi.
Sejurus kemudian beranjak pergi menuju masjid yang terdengar dengan kumandang adzan merdu itu. Angin senja menjelang malam itu bertabur warna kemerah-merahan di ufuk barat.
***

Episode 6 (Ketika Mega Merah Hilang)
Miqdad adalah seorang pria yang selalu menjaga shalat jama’ah tepat waktu. Setelah shalat maghrib maka dia akan menunggu hingga shalat isya’ tiba. Karena ia tahu bahwa jarak antara waktu maghrib dan isya’ sangat dekat. Di waktu yang singkat itu selalu digunakannya untuk me-muraja’ah hafalan al-Qur’annya. Kadang ia gunakan untuk mendengar kajian dan berdiskusi di masjid-masjid yang  dikunjunginya.
Miqdad bersandar pada tiang baris kedua masjid utama desa itu. Yaitu Masjid al-Muhajirin. Benar saja. Bibirnya sedang berkomat-kamit dengan hafalan ayat-ayat indah itu. Suaranya lirih namun terdengar fasih.
Subhanallah, merdu sekali suaramu, nak?” seseorang menepuk pundak kanan Miqdad.
Lalu ia menghentikan bacaan itu dan menolehkan pandangannya. Dilihatnya seorang berwajah senja penuh dengan kerutan di keningnya. Semua rambutnya yang terlihat adalah berwarna putih. Dengan kopiah hitam beraroma usia senja pula. Bisa jadi usia kopiah itu lebih tua dibanding usiaku saat ini? Terlukis guratan merah seperti terbakar pada setiap sisi kopiah itu. Sementara kumis dan jenggotnya tersulam warna putih mayoritas merata. Yah. Beliau seperti terlihat serba putih dengan gamis orang yang telah pergi ke tanah suci. Hanya kopiahnya saja yang hitam.
Bening senyumnya menggaris tipis, “Assalamualaikum?” suara parau beliau masih terdengar merenyuh hati.
“Waalaikumsalam” Miqdad pun membalas dengan senyuman santun.
“Di mana kau belajar membaca al-Qur’an, Nak? Mahraj mu bagus. Terlebih tampaknya kau seorang hafidz, bukan?” Beliau sembari meluruskan kedua kakinya dan bersandar tepat di sampingku.
“Saya enam tahun di Ponpes Fathussa’adah, Unit dua Tulang Bawang, Ustadz?” suaranya lebih pelan dari lawan bicaranya. Begitulah Miqdad ketika berbicara kepada yang lebih tua darinya. Santun, pelan dan terlihat kelembutan hatinya.
“Ohh.. Pantas saja kau sefasih itu dalam melantunkan ayat demi ayat yang kau baca. Tapi kenapa tiba-tiba kau memanggilku ustadz? Bukankah kita baru bertemu kali ini?”  kali ini beliau sedikit mengerutkan dahinya.
“He he... dari tas kecil ini” sambil menunjuk tas kecil berwarna cokelat. Di situ tertulis dengan bordiran warna hijau. “Ustadz Khoirul Anam, bukan?”
“Kau ternyata jeli wahai anak muda! He he... lalu nama mu?”
“Nama saya adalah Muhammad Miqdad Najib, biasa dipanggil Miqdad”
“Kau asli orang sini, Nak?”
“Ndak, Ustadz. Saya hanya liburan saja di sini. Di rumah paman. Ustadz sendiri?”
“Saya di sini musafir. Bersama keluarga bersilaturrahmi ke rumah kerabat yang ada di Desa Telogo Rejo, Es Pe lima?
Setelah saling mengenal, mereka larut dalam diskusi hangat tentang agama. Sebuah majelis sederhana tak terduga. Karena masjid bukan tempat untuk sesuatu yang sia-sia. Hingga masuk waktu isya’. Karena Miqdad paling muda dari yang telah hadir di masjid itu. Maka secara otomatis Miqdad lah yang mengumandangkan adzan. Suara yang begitu merdu dan mahraj yang fasih. Ya. Adzan itu mirip dengan irama adzan Hadramaut. Itu adalah nada adzan favoritnya. Berpasang-pasang telinga yang mendengarnya terenyuh ingin mendengar lebih lama dan lebih dekat lagi. Masjid itu lebih ramai dari biasanya jama’ah isya’.
Adzan usai. Jama’ah yang berada di masjid itu larut dalam sunnah rawatib mereka. Sekitar tujuh menit berlalu tak ada tanda-tanda imam masjid datang.
“Abah ada tidak, le?” seseorang bertanya pada remaja di shaf  kedua.
“Abah lagi tidak di rumah, pakde? Beliau pergi sore tadi bersama Ustadz Faruq, Ustadz Jalil dan Ustadz Khalil” anak itu mungkin putra dari imam masjid.
Kemudian iqamat dikumandangkan oleh seorang berperawakan tinggi dengan lantang.
“Silahkan Ustadz Anam, menjadi imam?” seorang laki-laki paruh baya mempersilahkan Ustadz Anam mengimami. Walaupun beliau musafir, tampaknya memang beliau sudah dikenal di desa ini.
Sejurus kemudian beliau melemparkan pandangannya ke arah Miqdad. Spontan Miqdad menjulurkan tangannya. Isyarat mempersilahkan.
“Suaraku sedang tidak enak, Nak? Masih terkena flu berkepanjangan. Nanti malah ndak nyaman jama’ahnya. Silahkan kau yang menjadi imam?” Ustadz Anam dengan seketika mendorong Miqdad perlahan hingga ke pengimaman.
Miqdad tak bisa beralasan apapun. Dia kini berada di garis depan. Menjadi jenderal. Ia harus menjalankan amanah itu dengan benar dan sebaik-baiknya. Suaranya merdu dan fasih. Rakaat pertama ia membaca surat an-Nisa’. Rakaat kedua melantunkan akhir surat al-Hasyr. Hampir semua jama’ah termakan oleh senandung iramanya. Tak terkecuali seorang wanita yang berada pada shaf wanita. Tampaknya ia menitikkan air mata ketika rakaat pertama Miqdad membaca surat an-Nisa’. Sehingga sajadahnya pun kuyup haru oleh tangisannya. Entah apa yang membuatnya tersedu dalam ibadah itu. Hanya dia dan Allah saja lah yang tahu.
***

Episode 7 (Bulan Sabit Yang Terbahak-bahak)
“Rumah asli Ustadz Anam dimana?” menyeret sepatunya dan mendekati seorang ustadz yang baru dikenalnya itu.
Ustadz Anam yang terduduk di emperan masjid itu sedikit kaget dengan kehadiran Miqdad. “Pertanyaan yang bagus, Nak Miqdad? Sekarang saya tanya dulu kepada kau. Mau alamat rumah yang baru atau yang lama?” seringai senyum itu menyibak terang temaram rembulan. Awan hitam berlalu dalam kebingungan.
“Dua-dua nya saja, Ustadz? He he ... Siapa tahu saya dapat berkunjung ke sana”
“Tapi dengan satu syarat, ya Nak?” sambil mengacungkan telunjuk beliau tepat di depan wajah Miqdad. “Dan aku tahu bahwa kau adalah orang yang amanah”
“Syaratnya apa itu, Ustadz?”
Ustadz Anam merogoh tas kecilnya. Seperti kartu nama beliau serahkan kepada Miqdad “Ini alamat rumah lama saya, insyaAllah itu rumah yang akan kudiami hingga menutup usia”. Sedangkan satu kartu nama lain ia masukkan ke dalam sebuah amplop kecil lalu direkatkan rapat-rapat. Menyodorkannya lagi “Yang ini alamat rumah baru, boleh di buka ketika telah mendapat izin dariku kelak di saat yang tepat. Siap?”
“Kalau boleh tahu kenapa Ustadz Anam mempunyai rumah baru? Sedangkan tak ada kemungkinan untuk ditinggali?” Miqdad mengernyitkan dahi. Dia seperti tenggelam dalam kebingungan.
“Akan aku jawab ketika kau telah diizinkan untuk mengetahuinya. Tapi jika tidak? Maka tidak untuk selamanya” sahut Ustadz Anam dengan tegas. Nada bicaranya lebih tinggi. Namun terdengar pekikan tawa tersembunyi yang tak dipahami oleh pemuda itu.
“Hemm... Walaupun aku tak paham dengan maksdu ustadz menyembunyikan hal itu. Aku tetap setia menunggu waktu itu tiba. He he he” berlagak puitis.
“Bagus kalau begitu, Nak!” mengacungkan ibu jari beliau bersamaan dengan seringai senyum mengembang. “Aku harus pergi dulu. Sudah ditunggu keluargaku di sana” menunjuk ke arah parkir. Di sana telah ada tiga bidadari berbaris di samping mobil Pajero Sport bercat hitam itu.
Miqdad menelan ludahnya dalam-dalam. Ada tiga bidadari. Yang satu dipastikan adalah putrinya. Terlihat masih kecil sekitar seumuran anak SD. Sedangkan dua wanita bercadar? Mungkinkah mereka istri-istri Ustadz Anam? Miqdad berpikir tentang dirinya yang belum bisa menyempurnakan agamanya. Sedangkan seseorang di sampingnya sudah mempunyai dua. Miqdad melongo dalam kebisuan.
“Serba hitam itu adalah istriku, Nak? Sedangkan yang berwarna serba biru itu adalah anak gadisku” Miqdad menghela nafas panjang. Namun seketika terisak dan seolah berhenti seperti tanda baca saktah dalam al-Qur’an. Ustadz Anam menyebut salah satu bidadari itu adalah putrinya?
Angin malam itu mulai menyapu khimar kedua bidadari itu. Desir hati Miqdad menggebu bahagia. Dia pun tak tahu apa yang membuatnya bahagia. Bahkan hanya sekilas saja ia memandang gadis dengan aurat serba tertutup itu. Namun itu cukup membuat hatinya berantakan. Warna biru seolah merubah langit malam itu menjadi merah merona. Bagaimana bisa biru menjadi berwarna merah hati? Bahkan bintang yang semula kerlip berpendar terang. Berubah menjadi terang kemerah-merahan. Bahkan bintang sudah tak lagi berbentuk seperti semula. Ia menjelma menjadi lukisan daun waru yang terang. Sedangkan rembulan terkekeh melihat imajinasi Miqdad yang tertunduk. Walaupun rembulan belum purnama. Namun terang gemintang mengalahkan sinar biasanya. Ya. Bulan sabit lentik itu kembali tertawa kecil pada Miqdad. Tampaknya pemuda itu sedang membuat hatinya tenang. Dielus dadanya berulang kali perlahan lembut. Malam itu benar-benar membuat hatinya tertampar gempa.
“Putriku telah melabuhkan cintanya dengan tepat?”
Kata-kata itu membuat kekeh bulan sabit itu berubah menjadi garang. Pendar bintang-gemintang menjelma sambaran petir tajam menghujam. Bahkan hatinya yang belum sempat tenang kembali diguncang dengan keganasan. Tak terasa bening-bening di jendela matanya. Sembab kemerah-merahan. Nafasnya terengah tak beraturan.
“Sampai saat ini putriku hanya melabuhkan cintanya kepada Rabb-nya saja. Dia hanya sebatas bidadari tanpa sayap. Terlihat sempurna namun belum bisa terbang dengan sayap. Jadi agamanya belum sempurna. Seperti kau, Nak Miqdad?” tanpa sepatah kata pun Miqdad seperti meleleh mendengar ucapan Ustadz Anam. Sebegitu berharapkah ia dengan putri ustadz itu? Dia sendiri tak tahu. Kali ini ia telah diperbudak oleh hatinya. Dan baru saat ini seorang Miqdad tak bisa mengendalikan hatinya.
Miqdad masih terdiam. Bisa jadi dia lupa bahwa memiliki pita suara. Hanya anggukan kepala dan isyarat mata. “Aku pamit, Nak? Jaga dirimu baik-baik. Kutuggu kau berkunjung ke rumahku”. Mengajakku bersalaman dan mendekat ke telinga kanan Miqdad. Seraya berbisik “Saranku untukmu adalah ‘usahakan kedatanganmu tak sendirian’. Itu hanya sebuah saran. Assalamualaikum Warahmatullah” menepuk pundaknya. Lalu mereka berpelukan. Tetes air matanya menempel di pakaian Ustadz Anam. Dia benar-benar telah paham maksud seorang ustadz yang kini memeluknya itu.
Ustadz Anam pun sekelebat telah sampai di mobilnya. Dari kejauhan terlihat melambaikan tangannya. Sekilas pula Miqdad melihat gadis bercadar biru itu. Hatinya kembali bergemuruh. “Astaghfirullah” berulang kali ia beristighfar. Hanya itu yang bisa diucapkannya. Mobil itu akhirnya benar-benar hilang dari pandangannya. Ada duka atas perpisahan dalam pertemuan sejenak itu. Namun tersirat asa manis bercumbu asmara terbungkus dalam rindu dan penantian. Semoga Allah memberinya jalan terbaik untuk mempertemukan ia dengan jodohnya kelak.
Dia berjalan mendekati tunggangannya. Dibunyikannya dengan perlahan. Namun suaranya sedikit tak ramah. Meraung-raung terbakar api kerinduan. Rindu yang dia sendiri tak tahu dari mana asalanya. Datang secara tiba-tiba serta hilang serta merta.
Diinjaknya gigi pertama. Ada yang aneh dan tak biasa. Dilihatnya ke arah gigi itu berada. Tak ada masalah. Namun dia melihat kakinya yang telanjang tanpa sepatu maupun kaos kaki yang membalut. Dilihatnya kaki bagian kanan. Di sana telah rapi sepatu dengan kaos kakinya. Lalu hilang di mana sepatu bagian kirinya? Motor perlahan digas melewati pelataran masjid. Hingga sampai tepat di depan teras masjid. Terdengar rintihan kesedihan. Ya. Suara itu berasal dari sepatu Miqdad yang baru saja ditinggalnya. Sedangkan Miqdad segera menghampiri dan memakainya. Berulang kali tanpa sadar Ia menepuk jidatnya. Tertawa atas kelakuannya. Malam itu menjadi malam pertama baginya diperbudak oleh rasa. Bulan sabit yang sedari tadi terkekeh, kini mulai terdengar terbahak-bahak menertawakan pemuda itu.
***


Share:

0 komentar:

Post a Comment

GEMPITA, Wahid Najmun Al-Farisi (Musafir Ilmu dan Cinta). Powered by Blogger.

Text Widget

"Jadilah sebaik-baik manusia, dengan selalu berbuat baik tanpa takut tak dihargai, tanpa takut tak mendapat balasan. Karena berbuat baikmu hanya ikhlas kepada Tuhan dan atas dasar kemanusiaan. Bukan karena satu pemikiran, satu agama, satu pandangan. Namun hanya satu tujuan untuk berbuat kebaikan kepada sesama."

Reriak Jiwa

Wikipedia

Search results

Sample Text

Jadikan setiap yang anda lihat, dengar dan rasakan menjadi pelajran berharga dalam hidup. Guru terbaik sepanjang zaman adalah Pengalaman. Tak peduli apakah itu pengalaman gagal atau kesuksesan.

"Tulisan adalah nyawa kedua setelah kematian"

Cloud Label

Video (4)

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Followers

Total Pageviews

Powered By Blogger

Label


Religion

Religion

Blog List

Translate

Labels

Blog Archive

Blogger templates