Gara gara BBM naik ia
menjelma menjadi Lomba Panjat Pinang bagi rakyatnya
Lagi lagi pembahasan
yang aktual adalah masalah BBM (Bahan Bakar Minyak). Pembicaraan dimanapun
pasti pembahasannya kenaikan BBM. Dari masyarakat yang kelas bawah hingga
masyarakat kelas atas dengan tanggapan yang pro dan kontra. Namun kebanyakan
pembicaraan mereka sangat konta. Faktanya BBM bersubsidi memang tepat sasaran.
Dari kalangan atas hingga bawah pun dapat merasakan manfaat dari subsidi
tersebut. Kalau pemerintah beranggapan bahwa subsidi BBM selama ini tidak tepat
sasaran, itulah anggapan yang keliru. Subsidi ini banyak digunakan rakyat.
Walaupun kalangan masyarakat kelas atas pun menikmatinya atau bahkan
menggunakan secara berlebihan. Namun bukan berarti rakyat kecil juga harus
merasakan dampak naiknya BBM dong. Rakyat kecil sangat butuh dengan BBM itu
untuk usaha kesehariannya. Lebih-lebih bagi para buruh, pedagang, pengampas, karyawan,
pelajar, mahasiswa pengusaha kecil menengah, sampai para nelayan yang
menggantungkan hidupnya dengan bahan bakar untuk kendaraan masing-masing
.
Segala jenis barang
dagang dan jasa pun harganya semakin meningkat. Mulai dari bahan makanan pokok
seperti beras atau sayuran sampai kebutuhan lainnya. Rakyat kecil mengeluh pada
pedagang akibat melonjaknya harga-harga sembako dan yang lainnya. Pedagang
mengeluh kepada Petani akibat mahalnya beras misalnya. Petani mengeluh segala
peralatan seperti traktor pengolah lahan sawah yang sudah pasti menggunakan
bahan bakar solar serta penunjang pertumbuhan padi seperti pupuk, obat gulma,
hama dan sebagainya. Keluhan ini pun tiada habisnya. Terus dan terus berlanjut
sampai ke pak Presiden.
Para buruh bergantung
pada BBM untuk kesehariannya berangkat hingga pulang kerja. Sedangkan gaji dari
sebelum BBM naik sampai saat ini pun belum juga ikut naik. Sedangkan kebutuhan
primer untuk sehari-hari yang sebelumnya pas-pasan, sekarang terasa tambah
kekurangan. Biaya untuk membeli papan, sandang, pangan pun bertambah. Jumlah
kebutuhannya tetap namun harganya yang semakin bertambah. Belum lagi jika
mempunyai anak sekolah yang kesehariannya berkendara sepeda motor. Akhirnya
uang jajan pun bertambah.
Jika berbicara dampak
menaikkan BBM tentu coba kita flashback lomba yang sering dilombakan
pada Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI). Tentu yang kita ingat adalah
lomba panjat pinang. Dimana suatu kelompok berusaha menggapai hadiah yang
berada diatas pucang dengan saling menginjak-injak pundak orang yang di
bawahnya. Bahkan terkadang malah saling menginjak-injak kepala demi mendapatkan
hadiah. Tinggi pohon jambi yang digunakan pun kurang lebih sepuluh meter. Kalau
tinggi pohonnya semakin dinaikkan lagi. Sedangkan jumlah orang yang memanjat
minimal sama dengan biasanya. Bukankah semakin sulit lagi dan semakin sengsara?
Belum lagi kebutuhan masa depan yang kian bertambah. Siapakah yang akan
menolong nasib rakyat jika begini? Wah.. ngeri kalau dibayangin dampaknya bagi
rakyat, terutama rakyat kecil.
Dari filosofi di atas
tentu dapat diambil kesimpulan bahwa kenaikan BBM akan menyusahkan masyarakat.
BBM untuk bensin Rp. 4.500 saja antara rakyat saling tumpang tindih dalam
mencari rezeki untuk kehidupan sehari-hari. Lalu zamannya Pak SBY naik dua ribu
menjadi Rp. 6.500 untuk bensin pun kian semaraknya tumpang tindih saling berebut
memenuhi kebutuhannya. Saling injak-menginjak sesama rakyat yang di bawahnya.
Kadang cara yang tak halal pun rela dilakukan demi tercukupinya kebutuhan
sesuap nasi.
Nah, di eranya Pak
Jokowi yang merakyat, dekat dengan rakyat, kebanggaan rakyat. Kok malah memberi
keputusan yang menyusahkan rakyat. Bayangkan, lagi-lagi BBM dinaikkan dua ribu
rupiah menjadi Rp. 8.500 untuk bensin dan Rp. 7.500 untuk solar per liternya. Bukan
tumpang tindih lagi para rakyat. Melainkan saling menginjak sesama rakyat yang
tak karuan.
Walaupun subsidi BBM
katanya dialihkan menjadi kartu sakti Jokowi diantaranya Kartu Keluarga
Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Namun yang perlu dipertanyakan adalah BBM sudah naik serentak di seluruh Indonesia
ini. Sedangkan pendistribusian kartu-kartu itu belum merata ke seluruh
Nusantara. Padahal harga barang-barang kebutuhan sehari-hari pun kompak ikut
naik loh.
Kalau istilah ketika
Jepang kalah dari Sukutu “Vacuum of Power” karena kekosongan kekuasaan.
Nah, sekarang cocok dengan istilah “Vacuum of Subsidi” karena yang tadinya dapat
merasakan subsidi sekarang bagi yang belum dapat kartu sakti hanya mlongo.
Mlongo dalam arti segalanya naik namun yang dimiliki tetap. Semoga pemerintah
lebih berpikir lebih keras dan kritis lagi masalah kesejahteraan rakyat ini.
Ditambah kemarin sempat turun, lalu naik lagi. menambah kemiripan dengan lomba tujuh belasan. Pucang atau panjat pinang yang naik turun.
0 komentar:
Post a Comment