Teringat cerita
lucu dari seseorang yang merubah pola hidup penulis menjadi bermakna. Beliau
bercerita tentang manfaat mejaga lisan. Karena awal mula dosa yang paling
sering adalah melalui lisan. Coba bayangkan setiap kita berbicara apakah kita
pernah memikirkan lawan bicara kita? Apakah mereka menerima dengan baik ucapan
kita. Entah itu becanda, serius maupun yang lainnya tentu salah satunya pernah
menyayat hati mereka. Kita mungkin merasa mereka tak tersakiti. Namun coba
bayangkan sekali lagi. Pernahkan kita tersakiti dengan ucapan lawan bicara
kita? Tentu sering sekali kan? Karena setiap orang punya ukuran dimana ia akan
tersinggung dan sebagainya.
Ingatlah bahwa
ucapan lisan seringkali terselip doa. Ia seperti ketukan pada pintu-pintu.
Salah satunya atau semuanya pasti akan terkabul. Bagaimana pun keadaanya itu.
Tak memandang bahwa itu becanda atau hanya benar-benar sebuah doa.
Pernahkah kita
tersandung ketika berjalan? Atau terpeleset di jalan yang sanagt licin penuh
lumut? Mungkin bisa dibilang kita kaget karena suatu hal. Digelitik oleh teman
kita misalnya. Dikagetin teman juga sering. Terkadang bagi orang yang sering
disebut latah ia akan mengucapkan
sesuatu tanpa ia menyadarinya. Bisa nama hewan yang ia sebut, bisa tumbuhan dan
lain sebagainya. Namun sebagai umat yang menjunjung tinggi agamanya adalah
setiap ucapannya adalah dzikir kepada Allah ‘Azza
Wa Jalla saja.
Upss...
ceritanya mana yaa... Afwan sampai
lupa... he he...
*****
Fajar tergaris
di ufuk timur. Sinarnya bersahaja dalam balutan embun yang bening. Percik senyumnya
menendang pipi. Pohon kelapa melambaikan asa bersama terbangnya burung-burung.
Hari itu masih sangat pagi. Lorong-lorong jalan masih sepi. Ya. Di desa kecil
ini hanya berpenduduk sekelumit. Hamparan sawah menyangga hidup mereka selama
ini. Hidup dalam tiga masa. Yaitu zaman penjajahan, zaman merdeka dan zaman
sekarang.
Di desa ini terdapat tiga gadis yang sangat cantik jelita. Kecantikan
tiada yang menandingi di dunia ini. Burung memandang pun akan terjatuh akibat
sayapnya lepas. Mata memandang mereka seakan copot dari akar retina. Kecantikan
mereka bertiga hampir tak mampu diungkap dengan rajut maupun renda kata-kata.
Hampir saja mereka meraih treble
kesempurnaan. Namun tentunya kesempurnaan hanya milik Allah sahaja. Oh maaf saudara-saudara
sekalian. Ternyata kecantikan mereka tujuh puluh enam tahun yang lalu. Jadi
mereka sekarang sudah tidak gadis lagi. Cucu mereka telah berkeliaran di muka
bumi ini. Ya. Walaupun mereka tetap menjadi trio
yang solid. Terbukti dengan kebersamaan yang mereka jalin selama ini.
Suatu hari. Sinar surya perlahan mulai tenggelam. Kuning padi
menyingkap bayang menguningnya senja di ufuk barat. Ia beranjak menuju malam.
Tak lupa senja melambaikan tangannya. Berharap bahwa esok bertemu kembali.
Senja sedikit menitikkan air mata melihat kerutan wajah gadis yang kini telah
disebut nenek-nenek itu. Guratan menggaris abstrak pada wajahnya. Kirut dalam
carut marutnya kehidupan membuat mereka tetap tegar di usianya. Ya. Senja
menjelang malam. Artinya tak lama lagi mereka berpulang seperti senja berganti
malam.
Duduk di tepi danau adalah hal yang sudah mereka lakukan bersama sejak
mereka bersahabat. Bercanda tawa bersuka ria dalam hening danau.
“Kita dulu pernah cantik. Namun sekarang kecantikan itu hilang entah kemana
rimbanya.” Salah seorang mereka memecah kesunyian malam. Dia adalah Tiyem.
“Benar. Kita telah kehilangan kecantikan itu. Mungkinkah kita bisa
cantik kembali?” jawab salah eorang lagi yang duduk di atas batu pinggir danau
itu. Ya. Dia bernama Poni lengkapnya adalah Ponijem.
“Bagaimana kalau kita mencari cara supaya cantik dan muda lagi? Kita
pasti bisa... eee... diamboolll” nenek
bernama Tijaniyem ini terpeleset di tepi danau. Maksud hati ingin berkaca pada
jernihnya air. Namun semuanya tak pernah terwujud. Karena saat itu malam dan
tiada cahaya terang di sana.
Percakapan mereka terus berlanjut asyik hingga malam menjelang. Mereka
merencanakan sesuatu yang tak terduga. Di luar nalar manusia pada umumnya. Malam
itu mereka bergerak mencari ramua herbal kecantikan. Tak berefek apapun pada
diri mereka. Lalu mereka menyusuri orang yang ahli dalam kecantikan. Hingga
pada dukun mereka kunjungi demi memasang susuk
kecantikan. Namun hasilnya tetap nihil pada diri mereka.
Keteguhan mereka pada komitmen untuk cantik kembali. Tak akan mudah
menyerah dengan halang rintang yang menghadang. Mereka bersatu sekuat tenaga
untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Berbagai cara telah mereka lakukan.
Hingga pada akhirnya salah satu dari mereka membuka peta wasiat orang tuanya.
Mereka mencoba menganalisis apa yang dimaksudkan dalam inisial peta itu.
Berjam-jam bergulir menuju hari yang cerah hingg malam gelap menerkam berganti
ke tanggal dan waktu lainnya.
Akhirnya... mereka menemukan pesan yang tersirat di peta wasiat itu. Itu
adalah peta destinasi pulau kecantikan. Siapa saja yang datang ke sana akan
mendapat sesuai apa yang diinginkannya. Bergegas mereka mempersiapkan segala
sesuatunya. Untuk jarak tempuh ratusan pulau yang harus mereka lampaui. Hanya
dengan keteguhanlah mereka sampai di sana.
Sesampainya di sana. Mereka menemukan petunjuk pada sebuah danau kecil.
Apabila seseorang berlari melompat ke dalam danau di barengi dengan teriakan
kecantikan. Yaitu teriakan nama artis yang cantik yang mereka inginkan. Maka
kecantikan mereka seperti apa yang mereka ucapkan. Dan kesempatan itu tak akan
datang untk kedua kalinya. Yap. Kesempatan itu hanya satu kali pada setiap
insan.
“Hiyaaaaaaaaaaattttt.... Luna
Maya.....” Byurrrrrrrrrrrr....rrrrr.
Tiyem melompat dengan semangat. Menyelami danau dan akhirnya muncul ke
permukaan dengan wajah secantik artis Luna Maya. Membuat Ponijem dan Tijaniyem
iri dan tak sabar merasakan kecantikannya kembali.
“Yaaaaaa.....tttt.... Nikita
Willy”....Byurrrrrrrrrrr...rrrrr.
Ponijem akhirnya memiliki wajah yang tak kalah cantiknya dengan artis.
“Ha ha... selera kalian hanya lokal saja. Hem hemmm... lihat saja aku
selera artis manca negara... “hiayaaaaaaaaattttt.....”
saat berlari Tijaniyem tersandung batu kecil hingga membuat lajunya tak
seimbang. Spontan ia mengucapkan “Wedus :
(kambing)” byurrrrrrr rrr.... sama
seperti kedua sahabatnya. Ia menyelami danau. Namun anehnya ia begitu lama
muncul ke permukaan. Tiba-tiba “mbeekkkk....
mbekkkk” yang muncul ke permukaan adalah seekor kambing.
Kedua sahabatnya sedih karena tahu bahwa Tijaniyem kini telah menjadi
seekor kambing. Dan tak ada kesempatan lain untuk merubahnya. Ia memang
terkenal dengan latahnya yang sering
diucapkannya. ia yang sedikit sombong dari sahabat yang lain. Namun mereka
tetap akur. Walaupun mereka adalah bukan trio ideal lagi. Karena dua cantik
bersama satu kambing. Namu kehidupan mereka tetap akur. Tijaniyem meratapi
nasibnya. Ia menyesal lisannya mengucapkan kata-kata yang seharusnya tak
diucapkannya. Akhirnya penyesalan hanya datang di akhir cerita.
*****
Sekian.....
Itulah pentingnya menjaga lisan. Karena ada pepatah berbunyi “sebaik-baik insan adalah yang selalu menjaga
lisannya”. Berkatalah yang baik-baik, atau lebih baik diam. Karena adalah
emas.
Oke. Terima kasih atas perhatiannya. Salam semangat untuk kita semua.
Mari Jaga Lisan Kita! Jangan sampai orang lain tersakiti oleh apa yang kita
ucapkan.
0 komentar:
Post a Comment