Berselimut Hujan
Ketika semburat pagi disambut dengan tatapan sinis mentari. Perlahan merangkak menuju terik yang mencurigakan. Saat sang surya benar-benar tergelincir dari deklenasinya, awan hitam mulai berarak membentuk sebuah perangkap. Dan benar saja, sekejap surya lenyap dalam pengap dihimpit oleh awan awan kedap suara. Sekalipun surya teriak memohon pertolongan, percuma saja. Dia sangat pasti telah hanyut ditelan waktu.
"Bagaimana? Mari berdoa dahulu sebelum kita berangkat." Saya, Reza Kipli, Sartono WB, Wahyu, Ferdian, Nurdin Al-Bidengah, Mahmud, dan Edi Santoso (Tuan Rumah) memacu tunggangan masing-masing. Tujuan Kami adalah menanam dan mengikat tali silaturahmi kepada keluarga Edi Santoso yang berada di Padang Dalom, Liwa, Lampung Barat.
Kami berdelapan berangkat dengan empat motor. Jadi, kami saling berboncengan. Berangkat dari Kota Metro, kota yang terkenal dengan sebutan Kota Pendidikan. Kota yang begitu mungil dengan dipenuhinya sekolah-sekolah hingga kampus-kampus hampir di setiap sudut kota. Namun, sebenarnya tidak terlalu tercermin sebagai kota yang dimaksud. Itu sangat bisa dilihat dari sepi nya pengunjung di Perpustakaan daerah. Bisa dibilang yang katanya kota Pendidikan, tapi minat baca masyarakatnya masih kurang. Dan semoga saja masyarakat segera sadar pentingnya membuka jendela dunia. Tak lupa untuk Pemerintah Kota, semoga mereka bisa memfasilitasi.
Perjalanan kami semakin seru, manakala hujan benar-benar mengguyur kami. Ya. Mulai dari Kotabumi hujan menderas. Memasuki daerah Bukit Kemuning, hujan sedikit mereda. Hanya ada gerimis kecil menghiasi. Ada yang unik di sini. Perjalanan kami kali ini disuguhi pelangi yang amat sempurna. Wajar saja cahaya senja membiaskan bulir-bulir air. Tak lupa kami bersyukur atas kenikmatan ini. Indah pelangi mencolek perasaanku yang diwarnai oleh cinta. Cinta yang belum berani aku ungkapkan. Cinta yang hanya akan aku ungkapkan di depan orang tuanya. (Baper)
Kami mulai merasakan dingin yang sesungguhnya. Senja telah ditelan oleh kegelapan. Namun tak juga reda. Wilayah bukit memang selalu menyuguhkan hawa dingin. Jalan yang penuh lika-liku menemani kami disepanjang jalan. Bayangkan jalan aspal yang kita lalui seperti kaca, yang mengkilap ketika tersorot lampu motor. Perjalanan kami diapit oleh jurang dan bukit yang sewaktu-waktu bisa saja menjadi bencana. Namun kami tetap fokus. Sekalipun beberapa kali kami kedinginan hingga menusuk tulang belulang. Kemeretak gigi menggigil mengantarkan kami di Sekala Beghak. Di sebuah masjid yang gagah berdiri di atas bukit. Untuk sekedar mampir buang air kecil. Dan kebetulan ada warung juga di sampingnya. Sebenarnya kami berniat shalat. Namun apa daya pakaian yang basah tak mampu untuk melangkahkan kaki ke sana. Kami pesan kopi untuk menghangatkan badan. Namun naas apalah daya, kopi yang sebegitu panas beserta mie instan terasa biasa saja. Seolah lidah kami mati rasa. Kami juga tak paham akan asap yang mengepul pada segelas kopi itu asap karena hawa dingin atau panas. Kami benar-benar tak bisa membedakannya.
Gelap semakin mencekam. Memaksa kami untuk segera sampai. Salah satu teman kami ada yang bergumam, "Kok lama banget ya? Pikirku tadi cuma dua jam dari Metro? Aku lo cuma bawa baju satu stel" Nurdin Abdullah namanya. Berhubung kami kedinginan, maka kami bully dia dengan ucapan, "dasar Ustadz Bidengah". Jalan-jalan yang tersorot lampu motor menjelma seperti mie instan yang baru saja menyelinap tenggorokan kami. Lika-liku penuh drama di dalamnya. Sesekali terpeleset di sebuah tikungan memutar. Perjalanan kami semakin menantang. Dingin semakin memeluk erat tubuh ini. Sugesti untuk tidak Hypotermia selalu kita gaungkan. Brrrrrrrrr.....
Tepat pukul 9 kita sampai rumah orangtua Edi Santoso. Dan ternyata rumah teman kami ini adalah jalan menuju Gunung Pesagi. Gunung tertinggi di Provinsi Lampung ini. Kami berniat wudhu untuk menjamak shalat kami. Namun air yang membasuh seperti air dalam kulkas. Dingin bila menyentuhnya. Tapi tidak bagi tuan rumah. Dia malah menganjurkan kami untuk mandi. Saya hanya bilang, gila dinginnya. Oke, Senin besok nunggu hujan dahulu sebelum pulang. wkwkwk
Setelah semuanya selesai. Maka selimut tebal menjadi teman kami semalaman. Keesokan harinya kami berkunjung ke Labuhan Jukung Krui, Pesisir Barat. Ombaknya begitu besar dan pemandangannya begitu sejuk. Kami pun butuh waktu sekitar dua hingga tiga jam dari Liwa. Lelah semalaman terbayarkan dengan keindahan alam ciptaan Tuhan.
Namun sebelum itu kami berkunjung ke kebun sayuran. Ya. Dulunya adalah perkebunan kopi. Kini menjadi kebun sayuran di setiap sisi dan kaki bukit.
Semoga Liwa ini tetap subur dan makmur. Tetaplah berkabut di pagi hari dan dingin di setiap waktu. Tetaplah hijau bukit-bukit Lampung. Semoga barakahmu menambah umur untuk bumi dari terjangan global warming.
Bersambung...
Kami berdelapan berangkat dengan empat motor. Jadi, kami saling berboncengan. Berangkat dari Kota Metro, kota yang terkenal dengan sebutan Kota Pendidikan. Kota yang begitu mungil dengan dipenuhinya sekolah-sekolah hingga kampus-kampus hampir di setiap sudut kota. Namun, sebenarnya tidak terlalu tercermin sebagai kota yang dimaksud. Itu sangat bisa dilihat dari sepi nya pengunjung di Perpustakaan daerah. Bisa dibilang yang katanya kota Pendidikan, tapi minat baca masyarakatnya masih kurang. Dan semoga saja masyarakat segera sadar pentingnya membuka jendela dunia. Tak lupa untuk Pemerintah Kota, semoga mereka bisa memfasilitasi.
Perjalanan kami semakin seru, manakala hujan benar-benar mengguyur kami. Ya. Mulai dari Kotabumi hujan menderas. Memasuki daerah Bukit Kemuning, hujan sedikit mereda. Hanya ada gerimis kecil menghiasi. Ada yang unik di sini. Perjalanan kami kali ini disuguhi pelangi yang amat sempurna. Wajar saja cahaya senja membiaskan bulir-bulir air. Tak lupa kami bersyukur atas kenikmatan ini. Indah pelangi mencolek perasaanku yang diwarnai oleh cinta. Cinta yang belum berani aku ungkapkan. Cinta yang hanya akan aku ungkapkan di depan orang tuanya. (Baper)
Kami mulai merasakan dingin yang sesungguhnya. Senja telah ditelan oleh kegelapan. Namun tak juga reda. Wilayah bukit memang selalu menyuguhkan hawa dingin. Jalan yang penuh lika-liku menemani kami disepanjang jalan. Bayangkan jalan aspal yang kita lalui seperti kaca, yang mengkilap ketika tersorot lampu motor. Perjalanan kami diapit oleh jurang dan bukit yang sewaktu-waktu bisa saja menjadi bencana. Namun kami tetap fokus. Sekalipun beberapa kali kami kedinginan hingga menusuk tulang belulang. Kemeretak gigi menggigil mengantarkan kami di Sekala Beghak. Di sebuah masjid yang gagah berdiri di atas bukit. Untuk sekedar mampir buang air kecil. Dan kebetulan ada warung juga di sampingnya. Sebenarnya kami berniat shalat. Namun apa daya pakaian yang basah tak mampu untuk melangkahkan kaki ke sana. Kami pesan kopi untuk menghangatkan badan. Namun naas apalah daya, kopi yang sebegitu panas beserta mie instan terasa biasa saja. Seolah lidah kami mati rasa. Kami juga tak paham akan asap yang mengepul pada segelas kopi itu asap karena hawa dingin atau panas. Kami benar-benar tak bisa membedakannya.
Gelap semakin mencekam. Memaksa kami untuk segera sampai. Salah satu teman kami ada yang bergumam, "Kok lama banget ya? Pikirku tadi cuma dua jam dari Metro? Aku lo cuma bawa baju satu stel" Nurdin Abdullah namanya. Berhubung kami kedinginan, maka kami bully dia dengan ucapan, "dasar Ustadz Bidengah". Jalan-jalan yang tersorot lampu motor menjelma seperti mie instan yang baru saja menyelinap tenggorokan kami. Lika-liku penuh drama di dalamnya. Sesekali terpeleset di sebuah tikungan memutar. Perjalanan kami semakin menantang. Dingin semakin memeluk erat tubuh ini. Sugesti untuk tidak Hypotermia selalu kita gaungkan. Brrrrrrrrr.....
Tepat pukul 9 kita sampai rumah orangtua Edi Santoso. Dan ternyata rumah teman kami ini adalah jalan menuju Gunung Pesagi. Gunung tertinggi di Provinsi Lampung ini. Kami berniat wudhu untuk menjamak shalat kami. Namun air yang membasuh seperti air dalam kulkas. Dingin bila menyentuhnya. Tapi tidak bagi tuan rumah. Dia malah menganjurkan kami untuk mandi. Saya hanya bilang, gila dinginnya. Oke, Senin besok nunggu hujan dahulu sebelum pulang. wkwkwk
Setelah semuanya selesai. Maka selimut tebal menjadi teman kami semalaman. Keesokan harinya kami berkunjung ke Labuhan Jukung Krui, Pesisir Barat. Ombaknya begitu besar dan pemandangannya begitu sejuk. Kami pun butuh waktu sekitar dua hingga tiga jam dari Liwa. Lelah semalaman terbayarkan dengan keindahan alam ciptaan Tuhan.
![]() |
Sejenak merangkai buih-buih cinta dalam mimpi |
Namun sebelum itu kami berkunjung ke kebun sayuran. Ya. Dulunya adalah perkebunan kopi. Kini menjadi kebun sayuran di setiap sisi dan kaki bukit.
![]() |
Kebun Wortel yang sedang berbunga |
![]() |
Kebun Buncis |
![]() |
Bawang Merah dan Piye Al-Bidengah |
Semoga Liwa ini tetap subur dan makmur. Tetaplah berkabut di pagi hari dan dingin di setiap waktu. Tetaplah hijau bukit-bukit Lampung. Semoga barakahmu menambah umur untuk bumi dari terjangan global warming.
![]() |
Kabut hingga Pukul 9 |
Bersambung...
0 komentar:
Post a Comment