Teman-teman pernah merasakan suatu keadaan dimana dalam perkumpulan,
komunitas atau teman sekelas mengalami masa acuh tak acuh? Semisal pertemuan
hanya sebatas tuntutan sesuatu tugas atau keperluan saja. Dalam hal ini saya
membahas pengalaman penulis dari sebuah kelas yang telah menguatkan hatinya
untuk tetap bertahan meski terpaan angin cobaan yang acapkali meghadang
perjalanan.
Dalam kelas yang penulis ada di situ. Mereka terkotak-kotak oleh geng
atau sekelompok dalam kelompok besar (kelas). Ini memang seharusnya tidak ada. Karena
satu kelas adalah satu kesamaan dan satu tujuan untuk lulus atau wisuda. Jadi jangan
sampai merasa “Aku tak cocok dengan dia
atau mereka,” lalu membuat geng sendiri. itu awal dari perpecahan, Kawan. Atau
misal dalam sebuah grup daring WhatsApp yang hanya berisik pemberitahuan
manakala terdapat pengumuman tugas, info atau candaan segelintir anggota grup
itu. Terkadang yang lain merasa terganggu dengan candaan. Hanya membaca tanpa
berkomentar kalau ada salah satu kawan yang bukan gengnya berbicara di grup. Cobalah
menghargai, Kawan.
Sifat penghuni kelas pun berbeda-beda namun bukan berarti perbedaan
itu dapat diartikan sebagai sesuatu yang kita pandang sebelah mata. Justru dengan
perbedaan itulah kita bisa saling menghargai keberagaman sifat dan sikap. Dengan
demikian kita diibaratkan pelangi yang senantiasa bersatu meski berbeda
warna-warni. Karena keindahan hakiki akan tampak bukan dilihat dari satu sisi. Cobalah
lihat sisi lain. Pasti kita bisa temukan berbagai keindahan yang belum sempat
tersentuh oleh mata hati. Apa itu? Keindahan persahabatan.
Ketika tangan-tangan senja meraih kegelapan. Seorang sesepuh kelas (telah
malang-melintang menjadi ketua kelas namun telah pensiun) tiba-tiba mengucapkan
kata-kata yang mungkin hanya membuat sebagian anggota sadar. Ya, seperti shock theraphy bagi yang memang menanggapinya
dengan hati. Setelah itu sesepuh itu keluar grup. Namun hanya segelintir pula
yang menanyakan bahkan ada sebagian yang tidak tahu. Karena mungkin tak
menyimak.
Singkat cerita sesepuh itu dimasukkan grup lagi. Masuk membawa segudang
asa untuk membuat sebuah acara. Yaitu acara dimana kita satu kelas bisa saling
berbagi rindu yang tak lama lagi akan hinggap pada panggung-panggung bernama
perpisahan. Semester tujuh bukan hal mudah. Kesibukan tugas sudah pada tahap
masing-masing individu. Masa presentasi atau berjubal tugas yang tiada henti
dari pekan ke pekan, dari hari ke hari, dari jam ke jam. Masa belajar serba
cepat ketika dalam satu hari ada ujian tengah semester atau ujian semester
hingga dua tau tiga kali. Kebersamaan karena tugas akan berakhir seiring
berakhirnya masa studi yang tingga menghitung jari. Mengejar tugas akhir dengan
semangat bimbingan memperoleh buku skripsi. Siap-siap mengantre dalam bimbingan
atau menjadi zombie yang berwajah pasi penuh menanti.
Bisa dibayangkan jika kebersamaan sebatas tuntutan. Maka setelah semuanya
selesai maka hanya gelar sarjana dan ilmu saja yang mungkin didapat. Tidak merasakan
manisnya persahabatan bahkan ketika kelak berjauhan dengan kesibukan
masing-masing. Entah itu menikah atau sukses bekerja atau mencipta usaha
mandiri.
Berangkat dari keprihatinan dan analisa jangka depan. Seorang sesepuh
membentuk panitia yang beranggotakan sembilan orang. Mungkin lebih mirip
panitia sembilan PPKI yang diketuai oleh Bung Karno. Membuat susuan acara,
penanggung jawab, estimasi dana dsb. Setelah itu ditentukan tempat yaitu di
kediaman salah satu anggota kami. Bertepatan dengan Sabtu, 9 Desember 2017. Sekitar
37 orang anggota hadir dalam acara tersebut. Dengan rangkaian acara sebagai berikut.
1. Pembukaan
2.
Games/Permainan
3. Bakar Ayam
dan Membuat Petisan
4. Surprise
5. Penutup
Akhirnya acara itu sukses bukan karena panitia. Namun karena semua elemen
yang hadir antusias membaur menjadi satu tanpa membawa geng masing-masing.
Karena kami satu. Acara dimulai sekita pukul 09:30 WIB dan berkahir menjelang
ashar tiba. Waktu yang singkat dan amat membekas di hati kami. Namun ini bukan
hanya sekedar waktu seharian. Melainkan perjalanan hingga semester tujuh dalam
rajut kebersamaan. Semoga kelak kebersamaan ini akan menjadi tali yang paling
kuat untuk menggapai masa depan.
Jika demikian maka dapat disimpulkan bahwa tujuh semseter bukan sekedar
waktu yang hanya kita tapaki dalam kebahaiaan. Lebih dari itu, adalah kebersamaan
yang akan terjalin hingga terpisah jarak atau waktu atau bahkan hingga ajal
datang. Untuk itu penulis bangga menjadi bagian dari anggota kelas ini. Dan penulis
akan selalu kenang dan simpan dalam etalase hati yang terhiasi bunga dalam
ruang-ruang nurani.
Untuk sahabat-sahabatku. Tetap semangat sekalipun kita sudah pantas
mendapat julukan semester tua. Jaga diri baik-baik, jaga kesehatan dan selalu
jaga hati untuk calon pendamping hidupmu nanti he he..
Untuk pembaca, terimakasih dan semoga menjadi inspirasi untuk menciptakan
keindahan hakiki. Yaitu keindahan kebersamaan.
0 komentar:
Post a Comment