Episode 1 (Hamparan
Sawah)
“Paman, ia
begitu mempesona. Siapa dia?” celetuk seorang keponakan laki-laki di dekatnya.
“Oh itu?”
sambil menjulurkan telunjuknya ke arah gadis berambut ikal. Berwarna hitam
namun bercampur kemerah-merahan. Dia berjalan pada sebuah galengan sawah. Memakai pakaian adat sedikit loggar namun dengan
warna yang mulai memudar. Dia sedikit mirip dengan orang-orangan sawah yang
baru saja aku buat. Lalu kupasang di tengah-tengah sawah paman. “Itu anaknya
pak lurah le, namanya Dwi Nurfalah
kenapa? Kamu menyukainya?” paman tertawa kecil meledekku. Ia menggoyangkan capil dari anyaman bambu yang kupakai.
Seraya berkata ”hati-hati kalau kamu naksir dengannya, dia anak orang kaya le. Terlebih sekarang ayahnya seorang lurah.”
“Ahh... paman
ada-ada saja. Aku hanya bertanya saja, tak bermaksud lain. Tidak mungkin Miqdad
menyukai gadis sepertinya.” Sembari melihat ke atas langit. Lelaki bernama
lengkap Miqdad al-Faruq. Pamannya sering memanggilnya dengan le atau tole. Itu sebuah panggilan dalam bahasa Jawa.
Matahari siang
ini teriknya menghujam tubuhku dan paman. Laksana lidah api yang
menggulung-gulung membakar kulitku. Walau telah terlapisi kain basahan ini, tapi tetap saja menyengat.
Kulihat matahari berputar berwarna biru pekat. Ini yang aku suka “Ha’ chinnnn Alhamdulillah”. Aku bersin berkali-kali.
“Ya arhamukallah” jawabnya.
“Yahdiukumullah” timpalku.
Kupandangi
secara seksama bayang-bayang tubuhku. Hitam merayap di belakangku. Ini
menunjukkan bahwa hari telah memasuki waktu dzuhur. Karena matahari telah
tergelincir dari titik kulminasinya. Kulihat jam digital yang terpampang di hape cegceng po ku. Menunujukkan pukul
12:40 WIB. Di sawah ini sangat sulit mendengarkan adzan. Karena sangat jauh
dari pemukiman. Jika ditempuh dengan sepeda motor saja butuh waktu lima belas
menit. Jadi wajar kalau kita terlewat untuk shalat tepat waktu.
“Man, paman!
Ayo shalat dahulu?” ajakku sambil beranjak menuju galengan. Kuletakkan setekaman rumput yang baru saja aku cabut.
Begitu pula dengan paman.
“Sudah masuk
waktu dzuhur toh le?” paman melihat
mentari. Namun keningnya mengernyit lalu matanya ia sipitkan. Tak kuasa menahan
sinar panas itu.
Segera kami
mengambil air wudlu di sungai dekat gubuk paman. Di sana airnya jernih dan
segar. Lalu dengan cepat kami menuju gubuk. Tak tahan bila berlama-lama di
bawah terik fajar tanpa penutup badan. Kami sahalat dengan sarung bersih dan
baju khusus shalat yang telah dipersiapkan sebelumnya.
“Arah
kiblatnya kemana paman? silahkan paman menjadi imamnya?” telapak tangan kiri
kutempelkan pada sikut tangan kananku. Itu sebuah isyarat bahwa aku
mempersilahkannya. Karena baru pertama kali ini aku liburan ke sini. Desa
Sidang Bandar Anom. Dahulu desa ini termasuk dari kabupaten Tulang Bawang.
Namun karena pemekaran, desa ini ikut kecamatan Rawa Jitu Utara yang
berkabupaten Mesuji.
“Kamu saja
yang imam le? Yang lebih bagus
bacaannya dan lebih banyak hafalannya ketimbang paman.” paman mendorongku ke
depan utnuk menjadi imam. “Kalau tidak salah ke arah sini le.” Ia menunjuk arah tergelincirnya matahari. Mungkin saja itu
adalah arah barat tepatnya. Tapi arah kiblat kan sedikit menyerong ke arah
utara? Batinku mengingatkan. Aku ragu-ragu. Lalu kulihat jam menunjukkan pukul
12:50.
Segera kubuka
buku berjudul Metode Mengukur Arah Kiblat
dan Jadwal Rashdul Kiblah Lampung. Buku itu karya Drs. A. Jamil, M. Sy.
Dosen Ilmu Falak satu dan dua ku ketika kuliah strata satu di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Jurai Siwo Metro lima tahun yang lalu. Sekarang telah alih status menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro.
Nama Jurai Siwo dihilangkan. Mungkin karena itu identik dengan kabupaten
Lampung Tengah. Kubuka tepat halaman 77. Tanggal dua puluh lima Maret pukul
12:55 WIB untuk melihat dengan jelas menggunakan matahari. Mana arah kiblat
sebenarnya di daerah Rawa Jitu Utara ini.
Kupandangi
bayang-bayang gubuk ini menyerong ke arah utara. Walaupun belum tepat, karena
kurang tiga menit lagi. Akhirnya pukul 12:55 WIB tepat aku melihat
bayang-bayang benda yang yakin dari sebelumnya. Paman pun terlihat bingung dan
hanya bengong menunggu imamnya tak segera takbiratul
ihram. Ada raut wajah menanti dalam keletihan yang menderanya. Perutnya
mulai terdengar lirih bertabuh. Tapi ia sembunyikan rasa lapar itu. Walau waktu
dzuhur masih lama habisnya. Paman akan tetap berusaha untuk shalat lebih awal
tanpa menunda-nundanya.
Akhirnya aku
memulai shalat dzuhur itu. Dan kami pun larut dalam sujud yang haru. Semilir
angin meniup sedikit kencang. Sarung kotak-kotak paman berkibar. Namun dengan
sigap ia usahakan kakinya sedikit rapat hingga menjepit sarung supaya tak
terbang. Begitu pula denganku. Rasa panas yang sedari tadi semromong mulai melebur menjadi semilir yang menjenakkan. Kami
makin hanyut dalam munajat sembah sebagai seorang hamba-Nya. Tenggelam dalam
dzikir dan lantunan ayat suci Al-Qur’an yang ku hafal.
Seusai shalat
kami membuka bekal untuk makan siang. Perut ini mulai bertabuh kencang. Lambung
telah perotes akan keterlambatan suplai pengiriman makanan. Segera pula kami
menikmati makanan yang dibawa.
“Paman sudah
membaca Basmallah?” tanyaku pada
paman. Mulutnya tampak penuh dengan makanan.
Segera ia
mengunyahnya lalu menelannya. “Bagaiamana do’anya le? Paman lupa. Dulu ndak tahu sekarang lupa he he” meringis
melumat wajahku.
“Bismillahi Al-awwalu Wa Akhiraahu”
paman pun mengikuti ucapanku.
Kualihkan
pandanganku jauh ke arah depan. Di sana masih terlihat gadis yang sebelum
shalat tadi ia tanyakan kepada pamannya. Ya.
Kuingat namanya adalah Dwi Nurfalah. Sedang apa dia sedari tadi di sini? Tapi
kali ini ia tak sendirian. Tampak terlihat dua orang laki-laki di sampingnya.
Yang satu berpakaian seperti pakaian lurah. Apakah ayahnya atau bukan aku tak
tahu. Sedangkan yang satu terlihat memakai jeans
ketat. Itu salah satu celana yang paling dibenci Miqdad. Sempit, susah dipakai
dan susah melepasnya. Dan yang paling parah adalah susah bila ingin buang air
kecil. Berpakaian lebih modis. Tapi sangat aneh. Diterik matahari begini, di
lokasi persawahan begini, kenapa memakai pakaian seperti mau konser saja.
Batinku cekakakan geli.
***
Episode 2 (Rinai Pertemuan di Gubuk Sawah)
Setelah makan
aku dan paman beristirahat sejenak. Memejamkan sepasang mata di bawah gubuk
sederhana ini. Bagiku tidur di tengah sawah adalah suatu hal yang kuinginkan
sejak lama. Dan kini aku merasakan bagaimana nikmatnya menjadi seorang petani. Ya
di sini aku merasakan pahit manisnya menjadi petani. Ketika keringat bercucuran
bak badai. Maka segera tersapu oleh desau semilir angin segar. Tak ada asap
kendaraan maupun efek rumah kaca. Sehingga hampir tak ada polusi di sini.
Hamparan sawah menari gemulai. Langit membiru dalam seringai senyum. Sejenak
terasa gelap. Aku terlelap.
Aku seperti
mendengar percakapan. Suara itu terdengar parau kadang lembut menyisir bulu
romaku. Dingin mulai memeluk dan mencekam. Hatiku berdesir secara tak sadar.
Jantungku berdetak memompa tak karuan. Hal seperti ini hanya akan terjadi
apabila aku berdiri di hadapan wanita. Ya wanita. Mereka selalu membuatku lemah
tak berdaya. Baik itu senyumnya, ucapannya, tangisannya dan semua tentang
mereka. Dimulai dari nenek, ibu, sahabat, saudara maupun teman-teman wanitaku.
Aku tak pernah tahu yang namanya cinta. Karena sampai saat ini aku tetap masih
sendiri. Karena tak bisa berlama-lama bila di dekat wanita. Tapi untuk ibu dan
saudara hingga sahabat aku betah bersama mereka.
Seperti ada
yang menyentuhku? Siapa dia? Tak menyentuh dengan seuntai tangan maupun
sepasang tangan. Namun sentuhan itu terasa hangat dengan punggungnya. Tapi
punggungnya terasa semakin dingin mencekam. Membuat jantungku semakin
menggelegar. Dingin itu bukan menusuk kulitku saja. Melainkan menusuk hingga
relung hati ini. Setelah itu mulai terdengar gemericik hujan. Suara dentaman
bersambut dengan cahaya kilap seperti cahaya foto.
Duarrrrrr drrrrrrrrrrrrrrrrr. Aku
terperanjat dan bangkit dari tempat dimana aku terlelap. Terbangun bukan karena
guntur menggelegar. Namun bangun karena mendengar orang selain aku yang
berteriak kaget.
“Kok sudah
bangun?” tanya seorang lelaki berkumis tebal. Berbadan lumayan kekar. Memakai
pakaian seperti pegawai desa.
“Le... ini Pak Lurah. Dan yang dua ini
anak-anaknya beliau.” Sahut pamanku.
Kupandangi dua
orang anak Pak Lurah. Yang satu terlihat modis dengan gaya anak zaman sekarang.
Gadis di sampingnya lebih sederhana. Ia mengenakan pakaian basahan yang ukurannya terlalu besar. Tampilan yang sangat natural.
Namun sayang rambutnya yang ikal memanjang dibiarkan terurai. Aku hanya
berandai jika saja ia memakai hijab atau minimal kerudung dahulu. Pasti semakin
cantik luar dalam. Sekitar setengah menit diam memandangnya.
“Astaghfirullah” kupalingkan wajahku.
Terjangan
angin semakin kencang. Rumpun padi yang sebelumnya menari-nari riang gemulai.
Kini tariannya cepat dan tak terarah. Hingga menyadarkanku. Jadi selama ini aku
terlelap di gubuk ini. Kenapa paman tak membangunkanku? Padahal ada Pak Lurah
yang numpang ngiyup. Aku juga kenapa
tak mendengar suara hujan yang lebat ini? Teringat akan ucapan ibu. Bahwa hujan
sederas atau selebat apapun tak akan terbangun. Bahkan suara guntur pun tak
bisa membangunkan. Hanya hati yang tenang dan keinginan bangun dariku saja yang
bisa menggugahku. Ahh.. parahnya diriku ini.
“Sejak kapan
Pak Lurah ngiyup?” pertanyaan itu kulemparkan
pada pria berkumis tebal di hadapanku.
“Sejak hujan turun
dengan lebat tadi mas, maaf telah mengganggu tidurmu” jawab Pak Lurah.
“Suara guntur
saja tak membuatnya terbangun. Apalagi suara kita. Tidak mungkin kita yang
membangunkan” Celetuk gadis ayu di samping Pak Lurah. Seringai senyumnya
menggaris syhadu dengan malu-malu.
Aku tersipu
malu. Terdiam membisu. Bukan karena lemah gemulai. Namun karena aku memiliki
jiwa malu yang luar biasa bila di dekat wanita. Terlebih ia adalah wanita yang
tak pernah kujumpai.
“Suara guntur
bukan tak bisa membangunkannya. Melainkan suaranya tak berani lebih keras.
Karena kalah merdu dengan suara dengkuran le
Miqdad. He he” paman bergumam pada gadis di dekatnya itu. Paman sengaja
mencantumkan namaku dalam ungkapannya.
“Jadi namanya
Miqdad? Perkenalkan nama saya Falah.” Sejurus kemudian gadis itu menjulurkan
tangannya ke depan. Isyarat perkenalan itu masih saja langeng hingga kini. Dan
kalau saja dia seorang laki-laki. Maka dengan segera aku menyambut perkenalan
itu dengan berjabat tangan. Sayangnya di seorang perempuan yang aku tak halal
menyentuhnya.
Semua pasang
mata bersiap menusukku dengan panah mereka. Busur itu telah di tarik. Aku
dihadapkan antara iya atau tidak. Kalau aku mengacuhkan tangan itu alangkah
sombongnya diriku. Mereka pasti menganggap aku sok suci. Jika aku terima maka
berdosalah aku telah menyentuh seseorang yang bukan muhrim denganku.
Kalau saja dia
bilang dari awal mau berkenalan denganku. Maka aku bersiap-siap untuk melumuri
tanganku dengan tanah. Supaya ada alasan untuk tak menjabatnya. Namun ia serta
merta langsung menjulurkan tangannya. Tangan yang terlihat berkulit sawo matang
itu halus. Tiba-tiba terbayang guratan api menyala pada tangan itu.
“Iya nama saya
Miqdad” kedua telapak tanganku beradu. “Maaf tak bisa menjabat tanganmu.
Telapak tangan ini sedang sakit. Tampaknya ini awal mula sakit kapalan” kusunggingkan senyum pelipur kecewa untuknya.
“Ohh iya.
Tidak apa-apa” ia tarik kembali tangannya dengan sedikit kecewa. Namun kulihat dia
memahami maksudku. Walaupun sebenarnya aku sedikit berbohong.
“Biasanya
pegangan sehari-hari pena dan laptop. Liburan ke tempat paman malah pegang
sabit, cangkul dan lain sebagainya. Wajar saja kalau kapalan.” Paman sambil mengepulkan asap rokok lintingannya. Asapnya lebih tebal dan lebih sesak bila terhirup
daripada rokok pabrikan.
Aku, paman,
Pak Lurah dan gadis bernama Falah semakin hangat bercerita dalam. Gemericik
yang semakin reda. Sementara pria dengan pakaian modis itu hanya diam membisu.
Dia seperti tak ingin berbaur dengan kami. Wajahnya terlihat ingin berbaur
dengan kami. Namun seolah ada yang mengganjal hatinya. Apakah dia membenciku?
Tapi kita belum pernah bertemu sebelumnya. Entahlah, aku sendiri tak berani
bertanya dengan walau sekedar basa-basi dengannya. Tampaknya apatis telah menyusup hatinya. Maybe.
***
Episode 3 (Pangeran Senyap)
“Bukankah dia
anakmu juga pak? Kenapa aku tak pernah melihatnya berbicara?” kata-kata itu
perlahan merambat hingga tertuju kepada Pak Lurah. Sedangkan bagi pria yang
sedari tadi diam hanya seperti ungkapan penasaran orang-orang yang baru
mengenalnya. Sorot matanya isyarat sedikit perasaan tak suka.
“Oh.. ini anak
sulung saya pak” sambil memegangi pundak anak bujangnya. “Bapak tak akan pernah
melihatnya bicara. Karena dia memang benar-benar tak bisa bicara setelah
kejadian itu.” Sambung Pak Lurah.
“Maaf, anak
bapak bisu?”
“Iya” semburat
sedih menggelayut bening di kelopak mata Pak Lurah.
“Siapa nama
anak bapak ini? dan kenapa dengan perkataan bapak setelah kejadian itu?” tanya
paman lagi.
“Namanya Rio.
Dia harus kehilangan pita suaranya demi menolongku. Dia dicekik oleh musuh
besar dalam hidupku. Ceritanya panjang pak.” sepasang mata Pak Lurah bening
berkaca-kaca.
“Apakah sudah
tak ada harapan untuk sembuh? Dengan operasinya misalnya?” tanyaku mengarah
kepada Mas Rio.
“Biarlah itu
menjadi sebuah kesaksian. Sebuah alasan untuk aku kobarkan dendam pada musuhku
itu! Aku akan balas dendam” ketus Pak Lurah dengan air muka memerah.
Sementara
Falah hanya terdiam. Sering kulihat ia bergerak ragu. Sehingga membuatnya
semakin terlihat salah tingkah. Sedang Mas Rio terkungkam seribu bahasa. Aku
sama sekali tak menemukan binar sahabat di wajahnya. Seolah dia membenci dunia
ini. termasuk diriku. Mungkin karena kobaran dendam yang membara di hatinya.
Aku tak bisa menyalahkan mereka yang punya musuh. Karena punya satu musuh saja
hidup tak tenang.
Aku jadi
teringat bahwa tak dapat dipungkiri bahwa ayahku juga dahulu mempunyai musuh.
Namun kini telah ayah anggap seolah tiada lagi. Permusuhan ayah juga
melibatkanku seperti halnya Mas Rio. Bahkan rusuk kiriku hingga patah atas
perkelahian itu. Kejadian itu saat aku masih duduk di bangku abu-abu putih.
Permasalahannya saat itu adalah berawal dari sengketa tanah. Namun karena
perselisihan, maka saat malam itu terjadilah perkelahian yang tak dapat
dihindarkan. Mereka satu pasukan datang mengepung rumahku. Jika hanya dengan
senjata tajam khususnya aku akan siap melawannya. Namun senjata api telah
menembus jantung ibuku. Itulah awal mula permusuhan besar itu. Namun sebenarnya
ayah menyuruhku untuk mengakhiri permusuhan itu. Karena akan banyak korban yang
berjatuhan lagi. Karena menang pun hanya akan menjadi arang. Sedangkan kalah
akan menjadi abu. Semuanya mengalami kerugian besar. Pada saat itu aku
bersikukuh untuk tetap mengibarkan bendera perang. Namun lambat laun aku mulai
sadar bahwa harus mengakhiri permusuhan itu.
Akhirnya aku
menemukan hidup berwarna di pesantren. Hingga saat ini ketenangan yang aku
dapatkan. Sudah tak berpikir dendam lagi siapa yang telah menembak ibuku.
Walaupun telah jelas bahwa anak buah musuh ayahku lah yang menembaknya. Namun
hingga kini mereka tak jua minta maaf. Bahkan pengakuan mereka saat itu tak
membawa anak buah bersenjata api. Ia mengaku hanya tangan kosong ke sana. Namun
kenyataan berbicara lain. Ibuku telah tiada.
“Rio ini anak
yang cerdas. Walaupun ia sekarang bisu. Namun tetap memberikan pengaruh besar
dalam hidupku. Strateginya, pemikirannya dan cara pandangnya membuuatku bangga.
Dia bagaikan pahlawan senyapku. Tak banyak bicara tapi berefek luar biasa.
Itulah dia.” Suara Pak Lurah membangunkan lamunanku. Sedangkan Mas Rio
menyunggingkan selaksa senyum kecil bangga.
“Kalau saya
orangnya suka damai pak? Permusuhan itu merugikan semua pihak pak. Kalau saya
boleh menyarankan, maka akhirilah permusuhan itu. Sebelum datang masalah baru
yang lebih rumit dari sebelumnya” dengan nada bersahabat dari paman. suasana
tegang sedikit meredam.
“Iya pak,
terima kasih atas sarannya. Saya juga ingin mengakhiri permusuhan itu.” Jawab
Pak Lurah tegas.
Tak terasa
hujan mulai mereda. Hamparan padi kini berlinang air hujan. Sore itu kami
pulang ke rumah masing-masing. Keriyip mentari sedikit menghangatkan tubuh di
perjalanan pulang. Sejurus kemudian terlihat warna-warni indah di cakrawala. Ya
itu pembiasan cahaya. Pelangi itu muncul cerah bersama sejuk semringah harapan
perdamaian. Rumpun padi melambai ceria
menyambut senja. Sedangkan burung-burung berbaris pulang ke rumahnya. Panorama
itu sedikit menyibak dendam yang bercokol. Apalagi diriku. Yang jarang sekali
melihat gugusan pelangi membentuk setengah lingkaran besar dari ujung utara
hingga ujung selatan.
*****
Episode 4 (Lima
Belas Menit itu)
Keriyip
mentari pagi mengintip di balik bukit. Namun sinarnya mulai berpendar memicing
kilau di ufuk timur. Tampaknya hari ini akan terang-benerang dengan kerlip
matanya. Ekor surya itu telah siap mengepakkan sayapnya menuju senja. Begitu
seterusnya. Dia pada keistiqamahannya menyibak kegelapan dunia ini. Namun
sehebat-hebatnya ia bercahaya, dia juga mempunyai suatu titik dimana diterka
masalah. Bahkan tak dapat bersembunyi dari masalah itu. Lihatlah ketika gerhana
datang. Bukan hanya dunia yang kita huni saja yang menuai kelam. Tapi tubuhnya
juga pun dalam kelegaman yang mendalam. Aku sangat menghargai jasanya kepada
bumi ini. Dengan sinar dan panasnya. Termasuk mengeringkan milyaran helai
pakaian.
Sembari
memeras dan menjemur pakaian aku memandang. Bernyanyi ria mendendangkan lagu. “Kun
Anta”. Namun yang paling sering diplay
adalah semua album Bang Ebiet G. Ade.
Kulihat ada
sesuatu yang menonjol pada saku bajuku. Ahh... aku langsung berasumsi bahwa itu
sampah. Karena tak jarang aku mengantongi bungkus permen atau snack bila jauh
dari kotak sampah. Mungkin itu juga sampah. Kugerayahi lalu kuambil seraya
kubuang. Kejadian itu begitu cepat.
“Astaghfirullah... aduh...aduhh”
tampaknya itu suara paman.
Ternyata
benar. Sampah yang kulemparkan tadi mengenai jidat paman. Aku berpura-pura saja
tak bersalah. Walaupun secara rasional tak ada orang lain di situ selain aku
dan paman. paman mengambil sampah itu dan seperti mengejanya “D-W-I N-U-R”.
Segera dengan sigap aku merebutnya.
“Maaf paman?
tadi aku yang melemparnya. Niatnya aku lempar ke kotak sampah itu. Ehh malah
terkena paman. he he...” sedangkan sampah itu aku kantongi di saku celanaku.
“Lain kali
hati-hati kalau melempar sesuatu. Jangan asal-asalan! Bisa-bisa kamu menyesal le?” kata-kata itu seperti sebuah
nasehat di semburat sirna embun itu.
“Injeh Paman?”
sahutku.
Kulihat paman
perlahan meninggalkanku ke arah depan rumah. Bayangannya mulai hilang. Dia
memang benar-benar telah sirna dari pandanganku. Dengan penasaran kubuka
lipatan kertas itu. Tertulis nama Dwi Nurfalah. Aku sontak teringat gadis
cantik yang berjalan di galengan
sawah. Lalu ia berteduh dari lebatnya hujan di gubuk pamanku. Bila dilihat dari
dekat, pikiranku jauh mengembara bersama bayangan manisnya. Wajahnya sering
terbersit dan selalu hadir dalam kanvas anganku. Ahh imajinasiku sangat kreatif
dalam masalah ini. tak bisa sedikit pun berlindung dari gelembung-gelembung
cinta. Apakah aku mulai menyukainya? Mungkin hanya sesaat. Biarlah aku
sembunyikan cinta ini. Aku siap atas hembusan angin kegetiran. Bahkan bila pun
aku terduduk dalam singgasana hati yang berapi membara.
Kubuka
perlahan lipatan itu. Ada beberapa angka berbaris di sana. Melambaikan tangan
manisnya. Ya. Itu nomor HaPe, Pin
BBM, nomor WA dan alamat rumah lengkap. Serta tertulis kata berpetik di
bawahnya “Aku adalah aliran sungai,
sedangkan engkau adalah sampan. Ke muara atau ke hulu engkau?” aku tahu apa
maksud dari gadis bernama Falah itu. Tak terasa degup jantungku menggelegak.
Aroma cinta pun mulai deras mengalir tak terbendung. Buih-buih bertebaran dalam
kesukariaannya. Kuingat lagi senyuman yang teduh menggaris dibibirnya. Cipratan
embun sejuk dan tenang. Tergambar jelas bagaimana ia bertutur kata. Pemalu.
Anggun. Apakah dia menicintaiku?
“Astaghfirullahal ‘adziim” kuusap
keningku. Tempo lalu aku berjanji pada diri sendiri untuk tak mencintai seorang
wanita. Karena ia ibarat tumpahan tinta dalam kanvas hati. Akan melebar bersama
getar-getar dan deru bisikan setan. Wanita yang kuanggap pemalu, anggun dengan
kecantikannya itu berani memberiku cara untuk menghubunginya.
***
Agendaku hari
ini adalah mensurvei beberapa perkebunan kelapa sawit milik ayahku. Ya. Ayahku
memiliki sawah di sini, pamanlah yang mengurusnya. Mungkin setelah ashar aku
berangkat sendiri. Karena paman harus menyelesaikan urusan lain.
Kuperiksa
perkebunan sawit puluhan hektare itu dengan kilat. Tak lupa kusambangi suatu
titik dimana ada pertambangan di situ. Pertambangan emas murni yang hanya ayah,
paman dan aku saja yang tahu. Kulihat semuanya aman dalam kode rahasia yang super
lengkap itu.
Di perjalanan
pulang aku dihadang oleh kawanan orang yang tak kukenal. Mereka semua berbadan
besar. Andaikan mereka ingin merampokku. Apa yang akan mereka dapat? Atau
mereka ingin membunuhku? Sebelum itu terjadi akan aku buat mereka babak belur
dengan silat yang kumiliki. Benar. Ternyata mereka berempat berwajah sinis dan
garang kepadaku. Berdiri diantara dua mobil Jeep
hitam.
Aku turun dari
tungganganku. Yamaha Vixion. Otot-ototku mulai mengerang siap berperang.
Kupasang wajah garang pula kepada mereka. Namun percuma saja. Kata ibu wajahku
selalu manis dalam keadaan apapun. Termasuk saat ini. Tapi tak ada satu pun
keluargaku yang meremehkan kemampuan beladiri yang kumiliki.
Langkahku
terhenti sejenak. Kulihat seseorang turun dari salah satu mobil itu. Sepatu
berwarna merah nan tinggi menapak tanah. Terlihat mempesona gaun merah yang
dikenakannya. Falah. Rambut gadis itu terurai oleh sapuan angin senja. Kacamata
bening membuatnya semakin anggun. Namun itu yang membuatku segera menundukkan
pandangan. Dia berjalan mendekatiku.
“Maukah kau
berkencan denganku malam ini?” suara lembut itu menggetarkan jiwaku.
“Maaf. Aku tak
bisa. Malam nanti ada acara.” Jawabku tenang. Karena benar nanti malam ada
acara. Yaitu persiapan keberangkatan pengiriman barang tambang.
“Sore ini?”
kali ini wajahnya ia dekatkan mataku yang tertunduk. Pandangannya menabrak
keras bola mataku. Yap. Aku teramat lemah di depan wanita. Bahkan jika aku di
suruh memilih antara menghadapi puluhan orang bertarung dan menghadapi satu
wanita. Maka aku pilih menghadapi puluhan orang saja.
“Aku juga tak
bisa. Karena dua puluh menit lagi aku harus beribadah. Maaf?” sahutku singkat.
“Oke aku hanya
perlu lima belas menit saja. Motormu biar anak buahku yang membawa. Sedangkan
engkau naik mobil bersamaku. Bagaiamana? Tak ada alasan lain?” kali ini dia
membuatku terdiam. Aku menganggukkan kepala. Aku tak bisa beralasan lagi.
Benar. Aku sangat lemah di depan wanita. Lima belas menit yang lama bagiku.
***
Episode 5 (Linang
Senja Itu)
Deru mobil
meraung. Gesit secepat kilat. Falah fokus pada gagang setirnya. Sedikit pun tak
menolehkan pandangannya walau sejenak. Sedangkan aku hanya terdiam memandangi
rambutnya yang terurai. Tiga menit berlalu. Sampai pada rumah makan minimalis.
Rumah makan yang paling terkenal cita rasanya di desa ini.
Falah
membukakan pintu. Dia menjulurkan tangannya. Aku hanya terdiam dan mencoba
beranjak keluar. Saat aku menutup pintu mobil tiba-tiba dengan cepat dia meraih
tanganku.
“Waktu kita
tak banyak! Jangan kau ulur-ulur!” dia benar-benar menggandeng tanganku. Aku
pun harus mengikuti langkah cepatnya.
Bahkan aku tak
bisa melepaskan gandengan itu. Keadaan seperti membuatku malu. Terlebih di
depan umum.
Akhirnya
tangan itu terlepas. Aku duduk di sebuah kursi saling berhadapan dengannya. Di
atas meja telah terhidang beberapa makanan. Apakah aku dan Falah salah tempat
duduk? Mungkin ini pesanan orang lain.
“Aku tahu kok
kalau kau suka dengan pecel yang pedas dan tak suka dengan yang berbau es atau
jus” sungging senyumnya tetap manis seperti pertama kali kulihat senyumya.
Walau aku merasakan ada sesuatu tak beres dengan sikapnya. Kadang malu dan sedikit
lebih kasar. Entahlah, mungkin dia terlalu disiplin. Dulunya bisa jadi anak
Paskibra.
“Bolehkah aku
meminta alamat rumahmu?” pertanyaan itu membuatnya menaikkan alisnya.
“Alamat asli
atau yang di sini?” jawabnya sambil mengunyah sebongkah lontong.
“Jadi, kau
bukan orang asli daerah ini?” tanyaku keheranan.
“Bukan”
Aku
menganggukkan kepala. Namun dalam sejuta tanda tanya yang besar. Bagaimana
bisa? Orang tuanya adalah seorang kepala desa di sini. Dia tinggal dimana?
Bintik penasaran itu mulai menggelembung.
“Maukah kau
menjadi kekasihku? Aku sangat mencintaimu, Miqdad?” tatapan matanya menusuk
tajam retinaku. Sedikit pun tak bergeming. Kulihat sepasang matanya bening
teduh cemerlang. Seperti fajar menyibak kabut jalang yang melintang. Aku tak
kuasa bila dipandangi seseorang. Terlebih seorang wanita. Itu membuat badanku
bergemetaran dalam dentam yang tak karuan.
Aku harus
menjawabnya tegas. Bahwa aku sudah tak mau lagi menjalin hubungan seperti itu
lagi. Kalau pun dia menawarkan untuk menikahinya. Maka segera aku pikirkan
matang-matang. Namun bila pacaran tak ada yang perlu dipikirkan. Karena
jawabanku adalah tidak.
“Maaf, jika
menjadi kekasihmu aku tak bisa” jawaban ini sering terucap dari sepasang
bibirku.
Tiba-tiba
Falah beranjak pergi tanpa sepatah kata pun. Pergi begitu cepat hilang dari
pandanganku. Aku tahu bahwa ia sedang menyembunyikan air matanya. Sangat paham
dengan kekecewaannya padaku. Karena dia bukan satu-satunya wanita yang menginginkan
aku menjadi kekasihnya. Melainkan sudah ada yang lebih dulu mendahuluinya.
Dengan nasib yang sama seperti dirinya saat ini. Kadang aku sendiri sedih dan
tak tega bila melihat seorang wanita menangis. Namun apalah daya. Demi
kebaikanku dan kebaikannya. Semoga saja ia akan paham maksudku.
Aku tinggalkan
uang di meja berbentuk persegi ini. Hendak pergi ke masjid terdekat dari sini.
Kulihat di meja itu ada selarik kalimat “Kau akan menyesal!”. Apa maksudnya?
Dia mengancamku karena penolakan tadi? Entahlah. Aku harus segera ke masjid
supaya tak terlambat untuk berjama’ah.
“Maaf, pak?
makanan di meja ini telah dibayar. Jadi, uang bapak silahkan dibawa kembali”
salah satu pelayan pria mengingatkanku.
“Ohh, iya
terima kasih” jawabku sambil beringsut menuju tungganganku yang di parkir oleh
anak buah Falah tadi.
Sejurus
kemudian beranjak pergi menuju masjid yang terdengar dengan kumandang adzan
merdu itu. Angin senja menjelang malam itu bertabur warna kemerah-merahan di
ufuk barat.
***
Episode 6 (Ketika
Mega Merah Hilang)
Miqdad adalah
seorang pria yang selalu menjaga shalat jama’ah tepat waktu. Setelah shalat
maghrib maka dia akan menunggu hingga shalat isya’ tiba. Karena ia tahu bahwa
jarak antara waktu maghrib dan isya’ sangat dekat. Di waktu yang singkat itu
selalu digunakannya untuk me-muraja’ah
hafalan al-Qur’annya. Kadang ia gunakan untuk mendengar kajian dan berdiskusi
di masjid-masjid yang dikunjunginya.
Miqdad
bersandar pada tiang baris kedua masjid utama desa itu. Yaitu Masjid
al-Muhajirin. Benar saja. Bibirnya sedang berkomat-kamit dengan hafalan
ayat-ayat indah itu. Suaranya lirih namun terdengar fasih.
“Subhanallah, merdu sekali suaramu, nak?”
seseorang menepuk pundak kanan Miqdad.
Lalu ia
menghentikan bacaan itu dan menolehkan pandangannya. Dilihatnya seorang
berwajah senja penuh dengan kerutan di keningnya. Semua rambutnya yang terlihat
adalah berwarna putih. Dengan kopiah hitam beraroma usia senja pula. Bisa jadi
usia kopiah itu lebih tua dibanding usiaku saat ini? Terlukis guratan merah
seperti terbakar pada setiap sisi kopiah itu. Sementara kumis dan jenggotnya
tersulam warna putih mayoritas merata. Yah. Beliau seperti terlihat serba putih
dengan gamis orang yang telah pergi ke tanah suci. Hanya kopiahnya saja yang
hitam.
Bening senyumnya
menggaris tipis, “Assalamualaikum?” suara
parau beliau masih terdengar merenyuh hati.
“Waalaikumsalam” Miqdad pun membalas
dengan senyuman santun.
“Di mana kau
belajar membaca al-Qur’an, Nak? Mahraj
mu bagus. Terlebih tampaknya kau seorang hafidz,
bukan?” Beliau sembari meluruskan kedua kakinya dan bersandar tepat di
sampingku.
“Saya enam
tahun di Ponpes Fathussa’adah, Unit dua Tulang Bawang, Ustadz?” suaranya lebih
pelan dari lawan bicaranya. Begitulah Miqdad ketika berbicara kepada yang lebih
tua darinya. Santun, pelan dan terlihat kelembutan hatinya.
“Ohh.. Pantas
saja kau sefasih itu dalam melantunkan ayat demi ayat yang kau baca. Tapi kenapa
tiba-tiba kau memanggilku ustadz? Bukankah kita baru bertemu kali ini?” kali ini beliau sedikit mengerutkan dahinya.
“He he... dari
tas kecil ini” sambil menunjuk tas kecil berwarna cokelat. Di situ tertulis
dengan bordiran warna hijau. “Ustadz Khoirul Anam, bukan?”
“Kau ternyata
jeli wahai anak muda! He he... lalu nama mu?”
“Nama saya
adalah Muhammad Miqdad Najib, biasa dipanggil Miqdad”
“Kau asli
orang sini, Nak?”
“Ndak, Ustadz.
Saya hanya liburan saja di sini. Di rumah paman. Ustadz sendiri?”
“Saya di sini
musafir. Bersama keluarga bersilaturrahmi ke rumah kerabat yang ada di Desa
Telogo Rejo, Es Pe lima?”
Setelah saling
mengenal, mereka larut dalam diskusi hangat tentang agama. Sebuah majelis
sederhana tak terduga. Karena masjid bukan tempat untuk sesuatu yang sia-sia.
Hingga masuk waktu isya’. Karena Miqdad paling muda dari yang telah hadir di
masjid itu. Maka secara otomatis Miqdad lah yang mengumandangkan adzan. Suara
yang begitu merdu dan mahraj yang
fasih. Ya. Adzan itu mirip dengan irama adzan Hadramaut. Itu adalah nada adzan favoritnya. Berpasang-pasang
telinga yang mendengarnya terenyuh ingin mendengar lebih lama dan lebih dekat
lagi. Masjid itu lebih ramai dari biasanya jama’ah isya’.
Adzan usai.
Jama’ah yang berada di masjid itu larut dalam sunnah rawatib mereka. Sekitar tujuh menit berlalu tak ada tanda-tanda
imam masjid datang.
“Abah ada
tidak, le?” seseorang bertanya pada
remaja di shaf kedua.
“Abah lagi
tidak di rumah, pakde? Beliau pergi sore tadi bersama Ustadz Faruq, Ustadz
Jalil dan Ustadz Khalil” anak itu mungkin putra dari imam masjid.
Kemudian iqamat dikumandangkan oleh seorang
berperawakan tinggi dengan lantang.
“Silahkan
Ustadz Anam, menjadi imam?” seorang laki-laki paruh baya mempersilahkan Ustadz
Anam mengimami. Walaupun beliau musafir, tampaknya memang beliau sudah dikenal
di desa ini.
Sejurus
kemudian beliau melemparkan pandangannya ke arah Miqdad. Spontan Miqdad
menjulurkan tangannya. Isyarat mempersilahkan.
“Suaraku
sedang tidak enak, Nak? Masih terkena flu berkepanjangan. Nanti malah ndak
nyaman jama’ahnya. Silahkan kau yang menjadi imam?” Ustadz Anam dengan seketika
mendorong Miqdad perlahan hingga ke pengimaman.
Miqdad tak
bisa beralasan apapun. Dia kini berada di garis depan. Menjadi jenderal. Ia
harus menjalankan amanah itu dengan benar dan sebaik-baiknya. Suaranya merdu
dan fasih. Rakaat pertama ia membaca surat an-Nisa’. Rakaat kedua melantunkan
akhir surat al-Hasyr. Hampir semua jama’ah termakan oleh senandung iramanya.
Tak terkecuali seorang wanita yang berada pada shaf wanita. Tampaknya ia menitikkan air mata ketika rakaat pertama
Miqdad membaca surat an-Nisa’. Sehingga sajadahnya pun kuyup haru oleh
tangisannya. Entah apa yang membuatnya tersedu dalam ibadah itu. Hanya dia dan
Allah saja lah yang tahu.
***
Episode 7 (Bulan
Sabit Yang Terbahak-bahak)
“Rumah asli
Ustadz Anam dimana?” menyeret sepatunya dan mendekati seorang ustadz yang baru
dikenalnya itu.
Ustadz Anam
yang terduduk di emperan masjid itu sedikit kaget dengan kehadiran Miqdad.
“Pertanyaan yang bagus, Nak Miqdad? Sekarang saya tanya dulu kepada kau. Mau
alamat rumah yang baru atau yang lama?” seringai senyum itu menyibak terang
temaram rembulan. Awan hitam berlalu dalam kebingungan.
“Dua-dua nya
saja, Ustadz? He he ... Siapa tahu saya dapat berkunjung ke sana”
“Tapi dengan
satu syarat, ya Nak?” sambil mengacungkan telunjuk beliau tepat di depan wajah
Miqdad. “Dan aku tahu bahwa kau adalah orang yang amanah”
“Syaratnya apa
itu, Ustadz?”
Ustadz Anam
merogoh tas kecilnya. Seperti kartu nama beliau serahkan kepada Miqdad “Ini
alamat rumah lama saya, insyaAllah
itu rumah yang akan kudiami hingga menutup usia”. Sedangkan satu kartu nama
lain ia masukkan ke dalam sebuah amplop kecil lalu direkatkan rapat-rapat.
Menyodorkannya lagi “Yang ini alamat rumah baru, boleh di buka ketika telah
mendapat izin dariku kelak di saat yang tepat. Siap?”
“Kalau boleh
tahu kenapa Ustadz Anam mempunyai rumah baru? Sedangkan tak ada kemungkinan
untuk ditinggali?” Miqdad mengernyitkan dahi. Dia seperti tenggelam dalam
kebingungan.
“Akan aku
jawab ketika kau telah diizinkan untuk mengetahuinya. Tapi jika tidak? Maka
tidak untuk selamanya” sahut Ustadz Anam dengan tegas. Nada bicaranya lebih
tinggi. Namun terdengar pekikan tawa tersembunyi yang tak dipahami oleh pemuda
itu.
“Hemm... Walaupun
aku tak paham dengan maksdu ustadz menyembunyikan hal itu. Aku tetap setia
menunggu waktu itu tiba. He he he” berlagak puitis.
“Bagus kalau
begitu, Nak!” mengacungkan ibu jari beliau bersamaan dengan seringai senyum
mengembang. “Aku harus pergi dulu. Sudah ditunggu keluargaku di sana” menunjuk
ke arah parkir. Di sana telah ada tiga bidadari berbaris di samping mobil
Pajero Sport bercat hitam itu.
Miqdad menelan
ludahnya dalam-dalam. Ada tiga bidadari. Yang satu dipastikan adalah putrinya.
Terlihat masih kecil sekitar seumuran anak SD. Sedangkan dua wanita bercadar?
Mungkinkah mereka istri-istri Ustadz Anam? Miqdad berpikir tentang dirinya yang
belum bisa menyempurnakan agamanya. Sedangkan seseorang di sampingnya sudah
mempunyai dua. Miqdad melongo dalam kebisuan.
“Serba hitam
itu adalah istriku, Nak? Sedangkan yang berwarna serba biru itu adalah anak
gadisku” Miqdad menghela nafas panjang. Namun seketika terisak dan seolah
berhenti seperti tanda baca saktah
dalam al-Qur’an. Ustadz Anam menyebut salah satu bidadari itu adalah putrinya?
Angin malam
itu mulai menyapu khimar kedua
bidadari itu. Desir hati Miqdad menggebu bahagia. Dia pun tak tahu apa yang
membuatnya bahagia. Bahkan hanya sekilas saja ia memandang gadis dengan aurat
serba tertutup itu. Namun itu cukup membuat hatinya berantakan. Warna biru
seolah merubah langit malam itu menjadi merah merona. Bagaimana bisa biru
menjadi berwarna merah hati? Bahkan bintang yang semula kerlip berpendar
terang. Berubah menjadi terang kemerah-merahan. Bahkan bintang sudah tak lagi
berbentuk seperti semula. Ia menjelma menjadi lukisan daun waru yang terang.
Sedangkan rembulan terkekeh melihat imajinasi Miqdad yang tertunduk. Walaupun
rembulan belum purnama. Namun terang gemintang mengalahkan sinar biasanya. Ya.
Bulan sabit lentik itu kembali tertawa kecil pada Miqdad. Tampaknya pemuda itu
sedang membuat hatinya tenang. Dielus dadanya berulang kali perlahan lembut.
Malam itu benar-benar membuat hatinya tertampar gempa.
“Putriku telah
melabuhkan cintanya dengan tepat?”
Kata-kata itu
membuat kekeh bulan sabit itu berubah menjadi garang. Pendar bintang-gemintang
menjelma sambaran petir tajam menghujam. Bahkan hatinya yang belum sempat
tenang kembali diguncang dengan keganasan. Tak terasa bening-bening di jendela
matanya. Sembab kemerah-merahan. Nafasnya terengah tak beraturan.
“Sampai saat
ini putriku hanya melabuhkan cintanya kepada Rabb-nya saja. Dia hanya sebatas
bidadari tanpa sayap. Terlihat sempurna namun belum bisa terbang dengan sayap.
Jadi agamanya belum sempurna. Seperti kau, Nak Miqdad?” tanpa sepatah kata pun
Miqdad seperti meleleh mendengar ucapan Ustadz Anam. Sebegitu berharapkah ia
dengan putri ustadz itu? Dia sendiri tak tahu. Kali ini ia telah diperbudak
oleh hatinya. Dan baru saat ini seorang Miqdad tak bisa mengendalikan hatinya.
Miqdad masih
terdiam. Bisa jadi dia lupa bahwa memiliki pita suara. Hanya anggukan kepala
dan isyarat mata. “Aku pamit, Nak? Jaga dirimu baik-baik. Kutuggu kau
berkunjung ke rumahku”. Mengajakku bersalaman dan mendekat ke telinga kanan
Miqdad. Seraya berbisik “Saranku untukmu adalah ‘usahakan kedatanganmu tak
sendirian’. Itu hanya sebuah saran. Assalamualaikum
Warahmatullah” menepuk pundaknya. Lalu mereka berpelukan. Tetes air matanya
menempel di pakaian Ustadz Anam. Dia benar-benar telah paham maksud seorang
ustadz yang kini memeluknya itu.
Ustadz Anam
pun sekelebat telah sampai di mobilnya. Dari kejauhan terlihat melambaikan
tangannya. Sekilas pula Miqdad melihat gadis bercadar biru itu. Hatinya kembali
bergemuruh. “Astaghfirullah” berulang
kali ia beristighfar. Hanya itu yang bisa diucapkannya. Mobil itu akhirnya
benar-benar hilang dari pandangannya. Ada duka atas perpisahan dalam pertemuan
sejenak itu. Namun tersirat asa manis bercumbu asmara terbungkus dalam rindu
dan penantian. Semoga Allah memberinya jalan terbaik untuk mempertemukan ia
dengan jodohnya kelak.
Dia berjalan
mendekati tunggangannya. Dibunyikannya dengan perlahan. Namun suaranya sedikit
tak ramah. Meraung-raung terbakar api kerinduan. Rindu yang dia sendiri tak
tahu dari mana asalanya. Datang secara tiba-tiba serta hilang serta merta.
Diinjaknya gigi
pertama. Ada yang aneh dan tak biasa. Dilihatnya ke arah gigi itu berada. Tak
ada masalah. Namun dia melihat kakinya yang telanjang tanpa sepatu maupun kaos
kaki yang membalut. Dilihatnya kaki bagian kanan. Di sana telah rapi sepatu
dengan kaos kakinya. Lalu hilang di mana sepatu bagian kirinya? Motor perlahan
digas melewati pelataran masjid. Hingga sampai tepat di depan teras masjid.
Terdengar rintihan kesedihan. Ya. Suara itu berasal dari sepatu Miqdad yang
baru saja ditinggalnya. Sedangkan Miqdad segera menghampiri dan memakainya.
Berulang kali tanpa sadar Ia menepuk jidatnya. Tertawa atas kelakuannya. Malam
itu menjadi malam pertama baginya diperbudak oleh rasa. Bulan sabit yang sedari
tadi terkekeh, kini mulai terdengar terbahak-bahak menertawakan pemuda itu.
***